Latest News

Monday, 6 May 2019

18-Kanon dan Apokrif

Umat Kristen non-Katolik sering mengatakan bahwa kitab-kitab deuterokanonika disebut kitab-kitab Apokrif dan seharusnya tidak menjadi bagian dari Kitab Suci. Berikut ini adalah beberapa prinsip yang dapat kita pegang:

1. Sebaiknya tidak menggunakan istilah “Apokrif”

Sebenarnya menurut St. Agustinus perkataan “Apokrif” atau apocrypha artinya adalah ‘tidak jelas asal usulnya’ yang berkonotasi dengan buku yang tidak diketahui pengarangnya atau buku yang keasliannya dipertanyakan. Namun secara umum, perkataan “apokrif” tadi diartikan sebagai sesuatu yang ‘tersembunyi, salah, buruk atau sesat’, sehingga sebaiknya kita tidak menggunakan kata “apokrif” karena artinya sama sekali bukan penghalusan kata “deuterokanonika”, tetapi malahan sebaliknya, sebab menganggap bahwa kitab- kitab ini tidak diinspirasikan oleh Roh Kudus.
Maka sebaiknya kita menggunakan saja kata “Deuterokanonika” yang terjemahan bebasnya adalah, “kanon yang kedua/ secondary”. Istilah ini dikenal pada abad ke-16, yaitu setelah Martin Luther dan para pengikutnya mulai membedakan antara ketujuh kitab dalam PL dengan kitab- kitab PL lainnya (yang mereka sebut sebagai proto-canon). Padahal, sudah sejak awal kitab- kitab Deuterokanonika termasuk dalam Septuagint, yaitu Kitab Suci Perjanjian Lama yang ditulis di dalam bahasa Yunani, yang adalah Kitab Suci yang dipegang oleh Kristus dan para rasul.

2. Tidak seharusnya kita mengikuti hasil Konsili Javneh/ Jamnia

Setelah kehancuran Yerusalem di tahun 70, yaitu tepatnya tahun 90- an  para ahli kitab Yahudi mengadakan konsili Jamnia (Javneh) untuk meninjau kanon Kitab Suci mereka, sambil juga menolak keberadaan Injil yang tidak mereka pandang sebagai tulisan yang diinspirasikan oleh Allah, karena mereka menolak Kristus. Konsili ini akhirnya memutuskan untuk  tidak memasukkan kitab- kitab Deuterokanonika di dalam Kitab agama Yahudi. Apa alasan persisnya kenapa disebut demikian memang tidak diketahui. Ada yang menyebutkan karena naskah asli dalam bahasa Ibraninya tidak diketemukan, namun yang ada hanya terjemahan bahasa Yunaninya, walaupun para Bapa Gereja pada jemaat Kristen awal tidak  meragukan keaslian kitab-kitab ini. Silakan membaca di link ini, silakan klik, untuk mengetahui bahwa para Bapa Gereja tidak pernah meragukan keotentikan kitab- kitab Deuterokanonika, dan bahkan mengutip ayat- ayat dalam Kitab tersebut dalam pengajaran mereka. [Para Bapa Gereja yang mengutip kitab- kitab Deuterokanonika dalam ajaran mereka, dan dengan demikian tidak meragukan keotentikan kitab tersebut, adalah: Para rasul dalam ajaran mereka Didache, Klemens, Polycarpus, Irenaeus, Hippolytus, Cyprian, Agustinus dan Jerome].
Walaupun sekarang umat Yahudi umumnya menerima hasil konsili Jamnia (Javneh) namun harus diakui bahwa tidak semua komunitas Yahudi menerima otoritas konsili Jamnia ini. Umat Yahudi di Ethiopia, misalnya, memilih kanon yang sama dengan kanon PL yang ditetapkan oleh Gereja Katolik, yang memasukkan kitab- kitab Deuterokanonika (cf. Encyclopedia Judaica, vol. 6, p. 1147). Demikian pula sebenarnya, Gereja tidak perlu menerima otoritas konsili Jamnia, sebab: 1) Konsili agama Yahudi yang dilakukan setelah Kristus bangkit,  tidak mengikat umat Kristiani, sebab kuasa mengajar telah diberikan kepada para rasul dan para penerusnya, dan bukan kepada pemimpin agama yahudi; 2) Konsili Jamnia menolak semua dokumen yang malah menjadi dasar sumber iman Kristiani, yaitu Injil dan kitab- kitab Perjanjian Baru. 3) Dengan menolak kitab- kitab Deuterokanonika ini, konsili Jamnia menolak kitab- kitab yang dipegang oleh Yesus dan para rasul, yang telah termasuk di dalam Kitab Suci mereka yaitu Septuaginta. Adalah fakta bahwa 2/3  kutipan  dalam kitab Perjanjian Baru sendiri diambil dari Septuagint dan bukan dari kitab berbahasa Ibrani.

3.Kitab-kitab yang termasuk Deuterokanonika

Kitab-kitab yang termasuk Deuterokanonika ini adalah:
  1. Tobit
  2. Yudit
  3. Tambahan kitab Ester
  4. Kebijaksanaan
  5. Sirakh
  6. Barukh, termasuk tambahan surat Yeremia
  7. Tambahan kitab Daniel
  8. 1 Makabe
  9. 2 Makabe
Kitab-kitab tersebut sudah termasuk di dalam kanon Kitab Suci sesuai dengan yang ditetapkan oleh Paus Damasus I dalam sinode di Roma tahun 382 dan kemudian ditetapkan kembali pada Konsili Hippo (393) dan di Konsili Carthage (397). Jika kita membaca isi kitab Deuterokanonika tersebut tidak ada yang bertentangan dengan isi Alkitab yang lain, sehingga sesungguhnya tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa kita-kitab tersebut ‘buruk’. Kitab tersebut malah memperjelas apa yang disampaikan dalam kitab Perjanjian Lama yang lain. Contohnya saja, di tambahan kitab Esther, ada uraian tentang mimpi Mordekai, surat penetapan Haman, doa Mordekai dan doa Esther, yang jika dibaca dalam kesatuan dengan Kitab Esther dalam kanon terdahulu dapat menjelaskan isi Kitab Esther secara lebih lengkap dan membuat ceritanya ‘make sense’. (Misalnya, di kitab terdahulu hanya disebut ada surat Haman, tetapi isi persisnya tidak dijabarkan, sedangkan di kitab tambahan Esther isi surat itu dijabarkan).

4. Mengapa Luther dan Calvin menolak Kitab- kitab Deuterokanonika

Kemungkinan Luther mencoret kitab Deuterokanonika terutama karena tidak setuju dengan isi Kitab 2 Makabe yang mengajarkan untuk berdoa bagi keselamatan jiwa orang-orang yang telah meninggal, sebab Luther berpendapat bahwa keselamatan diperoleh hanya karena iman (Sola Fide). Martin Luther juga menganggap beberapa kitab dalam Perjanjian Baru sebagai “kitab deuterokanonika”, seperti halnya surat rasul Yakobus – yang disebutnya sebagai “Epistle of straw/ surat jerami”,  kitab Wahyu, dan surat Ibrani, karena kitab itu secara implisit mengutip kitab 2 Makabe 7, yaitu Ibr 11:35. Selanjutnya ada yang mengatakan bahwa gereja Protestan mencoret Kitab Deuterokanonika karena ingin mengikuti hasil konsili Jamnia, agar lebih sesuai dengan kitab asli dalam bahasa Ibrani yang diterima oleh umat Yahudi. Namun seperti telah dijabarkan di atas, sesungguhnya umat Kristen tidak perlu mengikuti hasil Konsili Jamnia. Karena konsili itu menolak Kristus, menolak Injil dan Perjanjian Baru, bagaimana mungkin kita bisa mempercayai bahwa mereka mempunyai otoritas dari Roh Kudus untuk menentukan kanon Kitab Suci?
Walaupun Luther menolak kitab- kitab Deuterokanonika, namun setelah bertentangan sendiri dengan para tokoh Protestan lainnya, akhirnya Luther tetap memasukkan kitab- kitab tersebut dalam Kitab Perjanjian Baru. Luther dan para pengikutnya kemudian menyebut kitab- kitab Deuterokanonika sebagai kitab- kitab Apokrif (tidak diilhami Roh Kudus). Namun demikian, Luther tetap memasukkan kitab- kitab Deuterokanonika tersebut di dalam terjamahan Kitab Suci yang disusunnya, sebagai tambahan/ appendix antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Hal ini berlangsung terus sampai tahun 1827, saat  the British and Foreign Bible Society mencoret atau membuang kitab- kitab Deuterokanonika dari kitab suci mereka.
Maka Kitab Suci versi Protestan yang ada sekarang, bukan saja tidak lengkap, jika dibandingkan dengan Kitab Suci dari Gereja Katolik, tetapi juga tidak lengkap jika dibandingkan dengan Kitab Suci yang umum  mereka pakai selama sekitar 300 tahun (dari abad ke 16 sampai ke 19). Dan bahwa kitab suci Protestan sekarang ini usianya baru sekitar 150 tahun, dan ditetapkan oleh manusia, dan bukan oleh Tradisi turun temurun dari para rasul dan para Bapa Gereja. Tak dapat dipungkiri bahwa Luther menentukan sendiri kitab- kitab yang dianggapnya ‘lebih penting’ dari kitab- kitab yang lain berdasarkan pemahaman pribadinya; dan inilah yang kemudian mempengaruhi pandangan para pengikutnya. Sedangkan Gereja Katolik dalam menentukan kanon, tidak berdasarkan pemahaman pribadi melainkan dari bukti tertulis dari pengajaran para rasul dan Bapa Gereja, yang telah memasukkan kitab- kitab tersebut dalam tulisan mereka.
Jadi yang benar adalah Gereja Katolik tidak pernah menambah-nambah Kitab Suci, sebab memang dari sejak awal ditetapkan sudah demikian. Yang terjadi adalah pengurangan oleh pihak pendiri gereja Protestan, yang akhirnya diturunkan kepada generasi-generasi berikut dalam bermacam denominasi.

[Dari Admin Katolisitas: Pertanyaan dari Sary ini kami bagi menjadi dua bagian, bagian pertama (no 1-6) dan bagian kedua (no 7 dan 8). Berikut ini adalah pertanyaan dan jawaban bagian pertama, yaitu tentang kitab-kitab Deuterokanonika. Sedangkan bagian kedua akan kami jawab di artikel terpisah]

Pertanyaan:

Shalom, Ibu Inggrid dan Pak Steve
Beberapa hari yang lalu saya mendapatkan tantangan iman dari seorang pengajar teologi dan filsafat Kristen. Beliau menyatakan bahwa agama yang memakai alkitab Deuterokanonika adalah agama yang sesat. (dan itu juga berarti bahwa beliau menuduh bahwa Gereja Katolik adalah sesat). Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan sehubungan dengan hal ini:
1. Mengapa Deuterokanonika tidak dijadikan satu dalam bagian kitab Perjanjian Lama, namun dipisahkan menjadi kitab Deuterokanonika itu sendiri? Saya mendengar bahwa dalam cetakan Inggris Deuterokanonika tidak dipisahkan dan menjadi satu dalam kitab PL dan urutannya pun berbeda. Apakah benar? Apabila benar, mengapa dalam cetakan Indonesia kitab Deuterokanonika itu dipisahkan?
2. Sebenarnya apakah arti kata Deuterokanonika itu dan apa sajakah syarat dan ketentuan yang ditentukan oleh Bapa dan Gereja awal sehingga diputuskan bahwa Deuterokanonika masuk ke dalam bagian Alkitab?
3. Apakah dasar yang dipakai oleh Marthin Luther sehingga ia membuang kitab-kitab Deuterokanonika dari Perjanjian Lama?
4. Saya membaca beberapa bagian dalam kitab Deuterokanonika. Dalam kitab tersebut pada akhir pasal dituliskan catatan kaki yang menunjukkan hubungan antara ayat dalam Deuterokanonika dengan ayat-ayat dalam Perjanjian Lama dan juga Perjanjian Baru. Pertanyaan saya, apakah catatan kaki ayat-ayat tersebut itu ditulis untuk menjelaskan ayat dalam PL/ PB ataukah adanya catatan kaki di Deuterokanonika itu menunjukkan bahwa penulisan PL atau PB itu juga mengutip ayat-ayat dari Deuterokanonika?
5. Saya juga telah membaca beberapa kutipan mengenai penggunaan ayat Deuterokanonika dalam PL/PB seperti yang tersedia di website Bapak/ Ibu. Pertanyaan saya, apakah pengutipan itu diambil dari kitab Deuterokanonika saja ataukah ada juga yang diambil dari kitab lain?
Contoh : Matt. 2:16 – Herod’s decree of slaying innocent children was prophesied in Wis. 11:7 – slaying the holy innocents.
Matt. 6:19-20 – Jesus’ statement about laying up for yourselves treasure in heaven follows Sirach 29:11 – lay up your treasure.
6. Saya juga membaca mengenai orang-orang protestan yang tidak mengakui Deuterokanonika karena orang-orang Yahudi sendiri menolak kitab tersebut. Mohon penjelasannya secara rinci siapakah yang dimaksud dengan Yahudi itu.
Sary

Jawaban:

Shalom Sary,
Sebenarnya pertanyaan- pertanyaan anda banyak yang terjawab melalui artikel Perkenalan dengan Kitab Suci (bagian ke-2), silakan klik.

1. Kitab Deuterokanonika memang merupakan satu kesatuan dengan Kitab Perjanjian Lama

Kitab Deuterokanonika memang merupakan satu kesatuan dengan Kitab Perjanjian Lama (yang terdiri dari 46 kitab). Dalam edisi Vulgate (kitab Suci yang ditulis berdasarkan Septuagint, yaitu yang memuat kitab Perjanjian Lama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani pada tahun 250- 125 BC) Kitab Deuterokanonika termasuk di dalamnya, inilah yang dipakai oleh Gereja Katolik sampai sekarang. Maka benar bahwa di dalam Alkitab Katolik versi bahasa Inggris, memang kitab Deuterokanonika ini disatukan di dalam Perjanjian Lama. Jika di versi bahasa Indonesia dipisahkan, saya rasa itu kemungkinan karena pertimbangan kemudahan percetakan, dengan menggunakan dasar versi yang sudah ada dan diterima secara umum oleh semua umat Kristen di Indonesia.

2. Deuterokanonika adalah istilah yang dipakai setelah abad ke 16

Deuterokanonika adalah istilah yang dipakai setelah abad ke 16, yang artinya adalah yang termasuk dalam kanon kedua. Istilah ini dipakai untuk membedakan dengan kitab-kitab Perjanjian Lama lainnya yang diterima oleh gereja Protestan, yang disebut sebagai proto-canon. Namun sebenarnya Kitab Deuterokanonika ini telah termasuk dalam kanon Septuaginta, yaitu Kitab Suci yang dipergunakan oleh Yesus dan para Rasul. Dengan berpegang pada Tradisi Para Rasul,  Magisterium Gereja Katolik memasukkan kitab Deuterokanonika dalam kanon Kitab Suci, seperti yang telah ditetapkan oleh Paus Damasus I (382) dan kemudian oleh Konsili Hippo (393) dan Konsili Carthage (397). Kita percaya mereka diinspirasikan oleh Roh Kudus untuk menentukan keotentikan kitab-kitab ini, berdasarkan ajaran- ajaran yang terkandung di dalamnya. Kitab- kitab Deuterokanonika ini, bersamaan dengan kitab-kitab lainnya dalam PL dan PB, dikutip oleh para Bapa Gereja di abad- abad awal untuk pengajaran iman, dan prinsip- prinsip pengajaran pada kitab Deoterokanonika ini berada dalam kesatuan dengan PL dan PB.

3. Martin Luther tidak membuang Kitab- kitab Deuterokanonika

Sebenarnya, Martin Luther tidak membuang Kitab- kitab Deuterokanonika. Luther memasukkan kitab-kitab Deuterokanonika itu di dalam terjemahan kitab suci-nya yang pertama dalam bahasa Jerman. Kitab Deuterokanonika juga terdapat di dalam edisi pertama dari King James version (1611) dan cetakan Kitab Suci pertama yang disebut sebagai Gutenberg Bible (yang dicetak satu abad sebelum Konsili Trente 1546). Kenyataannya, kitab-kitab Deuterokanonika ini termasuk di dalam hampir semua Kitab Suci sampai Komite Edinburg dari the British Foreign Bible Society memotongnya pada tahun 1825. Sampai sebelum saat itu, setidaknya kitab Deuterokanonika masih termasuk dalam appendix dalam Alkitab Protestan. Maka secara historis dapat dibuktikan, bahwa bukan Gereja Katolik yang menambahkan kitab Deuterokanonika, namun gereja Protestan yang membuangnya.
Namun demikian memang diketahui bahwa Luther cenderung menilai kitab-kitab dalam Kitab suci seturut dengan penilaiannya sendiri. Misalnya, ia melihat kitab Ibrani, Yakobus, Yudas dan Wahyu sebagai kitab-kitab yang lebih rendah dibandingkan dengan kitab-kitab yang lain. Demikian juga dalam debatnya dengan Johannes Eck (1519) tentang Api Penyucian, maka ia merendahkan bukti yang diajukan oleh Eck yaitu kitab 2 Makabe 12, dengan merendahkan kitab-kitab Deuterokanonika secara keseluruhan. Ia juga mengatakan bahwa ketujuh kitab dalam Deuterokanonika tidak dikutip secara langsung di dalam PB. Namun jika ini acuannya, maka ada kitab-kitab yang lain dalam PL yang juga tidak dikutip dalam PB, seperti contohnya kitab Ezra, Nehemia, Ester, Pengkhotbah dan Kidung Agung, tetapi apakah kita akan membuang semua kitab-kitab itu? Tentu tidak bukan. Lagipula meskipun tidak ada kutipan langsung, namun ada banyak kutipan dalam PB yang mengacu pada apa yang tertulis dalam kitab Deuterokanonika. Contohnya, Ibr 11:35 tentang “Ibu-ibu yang menerima kembali orang-orangnya yang telah mati, sebab telah dibangkitkan. Beberapa disiksa dan tidak mau menerima pembebasan supaya mereka beroleh kebangkitan yang lebih baik….” ini mengacu kepada kisah seorang ibu yang menyerahkan ketujuh anak- anaknya dan akhirnya dirinya sendiri untuk disiksa, demi mempertahankan ketaatan mereka kepada hukum Taurat, seperti dikisahkan dalam kitab 2 Makabe 7. Kisah ini tidak ada di dalam kitab- kitab PL lainnya. Atau ayat 1 Korintus 2:10-11 yang mengajarkan bahwa manusia tidak dapat menyelami hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah yang telah ditulis dalam Yudith 8:14.

4. Catatan kaki yang terdapat pada kitab Deuterokanonika itu mengacu kepada ayat-ayat lain di dalam Alkitab

Catatan kaki yang terdapat pada kitab Deuterokanonika itu mengacu kepada ayat-ayat lain di dalam Alkitab yang mengisahkan hal yang sama/ serupa. Adanya kaitan ayat- ayat ini membuktikan bahwa kitab- kitab Deuterokanonika bukanlah kitab-kitab yang berdiri sendiri, melainkan merupakan kesatuan dengan kitab-kitab lainnya baik yang ada di PL maupun PB. Bahwa ada rujukan ke PL artinya ayat- ayat dalam kitab- kitab Deuterokanonika tersebut tersebut mengajarkan hal yang sama/ serupa dengan kitab- kitab PL lainnya, dan bahwa ada rujukan ke PB artinya pengajaran pada ayat- ayat kitab-kitab Deuterokanonika tersebut juga dikutip oleh para pengarang kitab- kitab PB, meskipun secara tidak langsung; atau prinsip pengajarannya diambil dan diajarkan kembali dalam PB.
Pada Alkitab The Jerusalem Bible, 1966, terbitan Dayton, Longman & Todd, Ltd dan Double Day,  tercantum cukup banyak catatan pada ayat- ayat Kitab Deuterokanonika yang mengacu kepada ayat- ayat kitab-kitab lainnya di PL dan PB. Semua ini sungguh menjadi bukti yang kuat bahwa kitab-kitab Deuterokanonika ini sama-sama diinspirasikan oleh Roh Kudus, sama seperti kitab-kitab lainnya dalam PL dan PB.

5. PB memang mengambil banyak referensi kepada pengajaran di PL, termasuk kitab Deuterokanonika

Jika diperhatikan maka kita ketahui bahwa ayat- ayat di PB memang mengambil banyak referensi kepada pengajaran di PL, termasuk kita Deuterokanonika. Ada yang dikutip sama persis, atau ada juga yang kemudian diperjelas ataupun disempurnakan. Dalam konteks inilah kita melihat nubuat pembunuhan kanak- kanak pada Keb 11:7, yang kemudian diperjelas dalam Mat 2:16 tentang pembunuhan bayi-bayi dan kanak-kanak di bawah umur 2 tahun pada jaman kaisar Herodes. Sedangkan contoh yang lain pada Mat 6:19-20 yang mengajarkan agar kita tidak menaruh perhatian kepada mengumpulkan harta dunia yang bermakna kosong, melainkan kepada harta surgawi, itu secara prinsip telah diajarkan dalam PL, yaitu Sir 29:8-12, Ayb 22:24-26; Mzm 62:10, Tob 4:9, selain juga diajarkan di PB, yaitu Yak 5:2-3, ataupun di ayat paralelnya pada Injil Lukas 12:33-34.
Contoh- contoh semacam ini banyak sekali. Maka, jika anda tertarik mempelajarinya, saya menganjurkan anda membeli buku the Jerusalem Bible, dan anda dapat melihatnya dengan lebih detail.

6. Alasan tidak menerima kitab-kitab Deuterokanonika karena orang-orang Yahudi sendiri menolak kitab-kitab tersebut adalah alasan yang sangat ‘absurd‘/ tidak masuk akal.

Sebenarnya alasan tidak menerima kitab-kitab Deuterokanonika karena orang-orang Yahudi sendiri menolak kitab-kitab tersebut adalah alasan yang sangat ‘absurd‘/ tidak masuk akal. Yang dimaksud di sini mungkin adalah bahwa kanon Ibrani yang ditetapkan oleh para rabi Yahudi dalam konsili Javneh/ Jamnia sekitar tahun 100,  hanya memuat 39 kitab PL, sedangkan Gereja Katolik berpegang pada Septuagint yang memuat 46 kitab (termasuk Deuterokanonika). Para rabi itu adalah orang -orang yang menolak Kristus, mereka tidak percaya kepada Kristus bahkan sampai saat ini. Bagaimanakah mereka dapat menentukan bagi Gereja, mana kitab yang diinspirasikan oleh Roh Kudus, dan mana yang tidak? Mereka (para rabi itu) menolak Kristus (kalau tidak menolak, mereka sudah jadi umat Kristiani), lalu bagaimana sekarang kita dapat mengatakan bahwa para rabi itu dipenuhi Roh Kudus untuk menentukan kanon Kitab Suci bagi Gereja?
Lagipula, jika kita mau secara obyektif melihat, selayaknya kita melihat pada penjelasan para pengarang Protestan yang bernama Gleason Archer dan G.C. Chirichigno membuat daftar yang menyatakan bahwa Perjanjian Baru mengutip Septuagint sebanyak 340 kali, dan hanya mengutip kanon Ibrani sebanyak 33 kali.((Gleason Archer dan G. C. Chirichigno, Old Testament Quotations in the New Testament: A Complete Survey (Chicago, IL: Moody Press, 1983), xxv-xxxii.)) Dengan demikian, kita ketahui bahwa dalam Perjanjian Baru, terjemahan Septuagint dikutip sebanyak lebih dari 90%. Jangan lupa, seluruh kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani. Dan kitab-kitab yang tertulis dalam bahasa Yunani inilah yang ditolak oleh para Rabi Yahudi. Tetapi apakah kitab-kitab PL yang tertulis dalam bahasa Yunani ini berarti tidak diinspirasikan oleh Roh Kudus? Tentu tidak bukan. Meskipun ditulis bukan dalam bahasa Ibrani, kitab-kitab tersebut tetap orisinil dan asli, sebab memang pada saat itu bahasa yang umum digunakan adalah bahasa Yunani.
Demikian yang dapat saya tuliskan untuk pertanyaan anda no 1 sampai 6. Jawaban no.7 dan 8-nya menyusul, karena topiknya juga berbeda dengan yang telah disampaikan di atas.
Kalau ada yang menuduh Gereja Katolik itu sesat, janganlah sampai membuat kita marah atau membalas. Janganlah kita menghakimi mereka ataupun mengatakan hal-hal yang negatif tentang mereka, sebab bisa jadi memang mereka mengatakan demikian karena mereka diajarkan demikian oleh para pengajar mereka (mereka tahu-nya demikian). Maka yang terpenting, menurut hemat saya, adalah kita sebagai orang Katolik mempelajari iman kita agar kita dapat menemukan kebenaran. Jadi, kalau ada orang yang bertanya pada kita, kita tahu bagaimana harus memberikan pertanggungjawaban iman kita. Biar bagaimanapun Kebenaran itu akan kelihatan dengan sendirinya, dan membuktikan bahwa Gereja Katolik, yang setia berpegang kepadanya, tidak sesat seperti yang dituduhkan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

Kanon

  1. Artikata.
    Kata "kanon" aselinja suatu kata Junani. Mula-mula kata itu berarti: gelagah sematjam tumbuhan. Batang gelagah dipakai untuk mengukur sesuatu. Kata "kanon" lalu mendapat arti: apa jang diukur dan chususnja: apa jang mengukur, pengukur, ukuran. Misalnja undang dapat dikatakan "kanon"; djuga apa jang ditetapkan dapat disebut demikian. Misalnya: bagian tetap dalam misa dinamakan "kanon". Kitab Sutji adalah "ukuran iman" keristen. Karena itu Kitab Sutji dikatakan "kanon iman". Tetapi Kitab Sutji jang mendjadi "ukuran iman" sendiri djuga ditetapkan. Hanja kitab-kitab tertentu sadjalah termasuk kedalam ukuran iman itu, jakni Kitab Sutji. Nah, djumlahnja kitab-kitab jang termasuk kedalam Kitab Sutji, atau "daftar kitab-kitab sutji" disebut djuga "kanon". Dengan demikian "kanon" sehubungan dengan Kitab Sutji berarti: Daftar kitab-kitab jang termasuk kedalam Kitab Sutji dan karenanja mendjadi ukuran iman. Istilah itu mulai dipakai semendjak abat IV Masehi.
    Wibawa resmi (geredjani) menetapkan kitab-kitab manakah termasuk kedalam Kitab Sutji. Dengan penetapan resmi sedemikian salah satu kitab mendjadi "kanonik", artinja: termasuk kedalam kanon Kitab Sutji. Penetapan dari pihak wibawa jang berwenang tidak membuat salah satu kitab mendjadi Kitab Sutji. Itu tergantung se-mata-mata pada inspirasi kitab itu. Tetap wibawa itu menerangkan bahwa kitab itu sungguh diinspirasikan dan karenanja oleh kaum beriman harus diakui djuga sebagai Kitab Sutji. Berkat penetapan jang berwibawa itu kaum beriman dengan pasti tahu kitab-kitab manakah sungguh Kitab Sutji.
  2. Sedjarah pembentukan Kanon
    Daftar Kitab-kitab Sutji tidak sekali djadi ditetapkan, melainkan lama kelamaan tumbuh dan terbentuk. Lain dari agama Islam, agama Perdjandjian Lama dan agama Keristen tidak bertumpu per-tama-tama pada sebuah kitab ilahi, melainkan pada sabda jang hidup dan tradisi iman. Kanon Perdjandjian Lama dan Kanon Perdjandjian Baru masing-masing mempunjai sedjarahnja sendiri.
    1. Kanon Perdjandjian Lama
      Tidak ada kepastian tentang kapan umat Israil mengakui salah satu kitab sebagai kitab ilahi jang berwenang. Tetapi sudah barang tentu sedjak dahulu kala sabda kenabian dan undang-undang dianggap berwenang ilahi, djuga apa bila tertulis. Dalam tahun 621/622 seb. Masehi diketemukan dalam Bait Allah di Jerusjalem suatu kitab (sebagian dari kitab Ulangtutur; bdk. 2Raj. 22:2-102Taw. 34:3-12). Tetapi tidak djelas djugalah apakah kitab itu diakui kitab ilahi oleh seluruh umat. Sesudah pembuangan ada kitab Taurat Musa (th. 398 seb. Mas,; bdk. Ezr. 7:6,10Neh. 8:1). Lama kelamaan kitab-kitab lain ditambahkan. Sekitar tahun 130 seb. Mas. kebanjakan kitab sudah ada (bdk. Putera Sirah: Prakata; ia membilang tiga kelompok kitab, jakni: Taurat Musa, Kitab-kitab kenabian dan "kitab-kitab lainnja"). Tetapi perkembangan belum selesai dan berlangsung terus. Sehubungan dengan beberapa kitab ada keraguan antara orang Jahudi. Mereka tidak sependapat sehubungan dengan djumlahnja kitab jang harus diterima. Sekitar tahun 0 kaum parisi menerima hanja kitab-kitab jang ditulis dengan bahasa Hibrani (sebagian Aram). Kaum Saduki mengakui Taurat Musa sadja sabagai kaidah (kelima kitab Musa). Kaum Jahudi jang memisahkan diri dari agama Jahudi resmi dan jang pusatnya di Qumran kiranja mengakui djuga beberapa karangan jang penting bagi mereka sendiri. Diluar Palestina chususnya di Iskandria, orang-orang Jahudi menerima sebagai Kitab Sutji beberapa buku jang dikarang dalam bahasa Junani atau hanja terpelihara dalam terdjemahan Junani. Achirnya diantara orang-orang Jahudi ada dua kanon, jakni satu jang diterima di Palestina dan jang lain di luar Palestina, diperantauan, chususnja di Iskandria. Kanon di Palestina itu ditetapkan oleh suatu rapat para rabbi di Jamnia pada tahun 100 Masehi. Hanja diterima kitab jang dikarang dan terpelihara dalam bahasa Hibrani (Aram). Jang lain, jakni jang tertulis dalam bahasa Junani atau terpelihara dalam terdjemahan sadja ditolak. Diterima sebagai Kitab Sutji: Taurat Musa (Lima kitab), Kitab Josjua, Hakim-hakim dengan kitab Rut, Kitab Sjemuel, Kitab Radja-radja, Kitab Tawarich, Kitab Esra/Nehemia, Kitab Ester, Kitab para nabi, jakni: Jesaja, Jeremia dengan Lagu-lagu Ratap, Jeheskiel Daniel dan XII nabi ketjil, Kitab Mazmur, Amsal, Ijob, Madah Adung, Pengchotbah. Djadi djumlahnja 35 (39 djika Kitab Sjemuel, Radja, Tawarich dan Esra/Nehemia dibagi mendjadi dua).
      Tetapi terdjemahan Junani Perdjandjian Lama, jaitu Septuaginta jang ber-angsur-angsur dibuat diluar Palestina antara tahun 300-100 seb Mas. memuat beberapa kitab lain lagi. Kitab-kitab tambahan itu lebih kurang diakui Kitab Sutji oleh orang Jahudi diperantauan dan mungkin oleh beberapa kalangan di Palestina djuga. Daftar Kitab Sutji itu lazimnja disebut "kanon Iskandria", oleh karena terutama dikota itu diterima. Kanon itu memuat disamping kitab-kitab dari kanon Palestina 7 (8) buah kitab lain, jakni: Tobit. Judit, Makabe I dan II, Kebidjaksanaan, Putera Sirah dan nabi Baruch (dengan Surat Jeremia). Maka kitab-kitab kanon ini berdjumlah 42 (43). Terdjemahan Junani itupun memuat dalam Kitab Daniel (Dan 3:24-90; 13-14) dan dalam Kitab Ester (Est 1:1a-r; 4:8a-b, 17a-z; 5:1a-b; 8:12a-v; 10:3a-l) beberapa bagian jang tidak terdapat dalam naskah Hibrani. Perbedaan tersebut antara kedua kanon itu djuga nampak dalam istilah jang biasanja dipakai. Kitab-kitab jang terdapat dalam kedua kanon itu disebut "proto-kanonik" dan kitab-kitab serta bagian jang hanja diketemukan dalam kanon Iskandria dinamakan "deutero-kanonik". Oleh kalangan Keristen jang tidak katolik kitab "deutero-kanonik" dinamakan "apokrif". Perbedaan pendapat diantara orang Jahudi tentang daftar kitab-kitab sutji beberapa lamanja berlangsung djuga diantara orang-orang Keristen. Pengarang-pengarang Perdjandjian Baru menggunakan terdjemahan Junani tersebut dengan daftar pandjangnja. Namun demikian mereka tidak menjadjikan dengan tegas suatu daftar lengkap dan tidak terang apakah mereka menganggap semua kitab (dari kanon Iskandria) sama berharga dengan kitab dari kanon Palestina. Orang Keristen disebelah Barat menerima kanon Iskandria itu. Tetapi disebelah Timur ada keraguan tentang kitab-kitab deutero-kanonik, terutama setelah kanon Palestina mulai diketahui. Lama-kelamaan anggapan Barat diterima umum dan ber-abat-abat lamanja kanon itu diterima diseluruh Geredja. tetapi didjaman reformasi keraguan muntjul kembali. Luther dan Calvinus lalu mengakui hanja kanon Palestina, pada hal Geredja Katolik dalam konsili di Trente (th 1546) setjara definitif meneguhkan kanon Iskandria. Maka itu hingga dewasa ini Geredja Katolik dan Geredja-geredja keristen lainnya berselisih pendapatnja sehubungan dengan kanon Kitab Sutji.
    2. Kanon Perdjandjian Baru
      Perdjandjian Baru belum (dapat) memberikan suatu daftar kitab-kitab dan karangan-karangan Perdjandjian Baru jang diinspirasikan. Hanya anggapan agama Jahudi diteguhkan bahwa ada Kitab ilahi jang berwibawa. Para pengarang dan Kristus sendiri menerima prinsip itu. Tetapi umat Keristen menerima disamping dan diatas wibawa Kitab Sutji itu wenang Kristus dan utusan-utusan-Nja, para Rasul. Para Rasul serta pembantunja langsung mengadjar dan memimpin umat. Lama-kelamaan dan disana-sini pengadjaran itu mulai djuga ditjantumkan dalam kitab-kitab dan karangan, jang ditulis rasul-rasul sendiri atau orang lain. Karangan-karangan itu disana-sini djuga dikumpulkan (bdk. 2Ptr 3:15), tetapi kumpulan itu tidak di-mana-mana sama. Tidak semua karangan diketahui disegala tempat. Sekitar tahun 170 Mas. di Roma ada suatu daftar jang sudah membilang semua kitab ketjuali surat kepada orang-orang Hibrani (Kanon Muratori). Dalam pada itu bertambahlah buku-buku jang menjebut dirinja "rasuli", djadi Kitab Sutji. Buku-buku itu, jang lazimnja dinamakan "apokrif" (atau pseud-epigrapha), kadang-kadang dikarang untuk memuaskan keinginan tahu kaum beriman, kadang-kadang hendak menjiarkan adjaran sesat atau membela adjaran benar. Untuk menghadap kekatjauan jang timbul maka Geredja mulai memikirkan dan mentapkan kitab-kitab manakah memuat adjaran Gereja rasuli dan karenanja mendjadi ukuran iman benar. Perdjuangan tjukup lama berlangsung dan tidak selalu gampang membedakan kitab-kitab jang sungguh-sungguh diinspirasikan. Akibatnja ialah: djuga kitab-kitab jang sungguh kitab sutji kadang-kadang sjahwasangka djuga. Kitab-kitab jang pernah diragukan ialah: Surat kepada orang-orang Hibrani, Surat 2Petrus, Surat Judas, Surat-surat 2 Johanes dan 3 Johanes dan Wahju Johanes. Kitab-kitab ini lazimnja disebut "deutero-kanonik" (lain artinja dari "deutero-kanonik" sehubungan dengan Perdjandjian lama). Tetapi achirnja ditetapkan daftar lengkap jang umum diterima. Daftar itu diteguhkan oleh konsili Trente. Sehubungan dengan Perdjandjian Baru Geredja Katolik sependapat dengan geredja-geredja Keristen lainnya.

Apokrif

"Apokrif" (dari kata Junani apokryphon, jang berarti: hal tersembunji) dinamakan kitab-kitab atau karangan-karangan jang rupa-rupanja kitab-kitab sutji tapi tidak diterima sebagai Kitab Sutji dan karenanja tidak termasuk kedalamnja. Ada amat banjak kitab apokrif sedemikian. Sebagian berhubungan dengan Perdjandjian Lama (karenanja disebut: apokrif-apokrif Perdjandjian Lama) dan sebagian berhubungan dengan Perdjandjian Baru. Sedjak abad kedua sebelum Masehi hingga abad keempat sesudah Masehi kitab-kitab itu dikarang dan amat laku sekali, baik dikalangan orang Jahudi maupun dikalangan orang-orang Keristen. Pengarang-pengarang kitab-kitab itu tidak diketahui namanja. Biasanja kitab itu sendiri berkata ia dikarang oleh atau berhubungan dengan seorang tokoh dari Perdjandjian Lama atau dari Perdjandjian Baru, misalnja Jesaja, Musa, Henoch, Petrus, Thomas dll. Tidak djarang terdjadi bahwa apokrif-apokrif Perdjandjian Lama, karangan orang-orang Jahudi kemudian diambil alih oleh orang Keristen dan disadur seperlunja. Kebanjakan apokrif berasal dari kalangan atau bida'ah Jahudi tertentu atau dari matjam-matjam bida'ah Keristen. Perlu ditjatat kitab-kitab apokrif dalam peristilahan tidak katolik disebut "pseudepigrapha" dan "apokrif" disana berarti "deutero-kanonik". Dahulukala beberapa apokrif oleh salah satu pudjangga Geredja diterima sebagai Kitab Sutji dan disana-sini malah dibatjakan dalam ibadah geredjani. Beberapa lamanja karangan-karangan itu sungguh membahajakan iman murni. Apokrif Perdjandjian Lama jang terkenal ialah "Kitab Henoch", jang sesungguhnja terdiri atas beberapa karya lain dari djaman jang berlainan. Buku tersebut terpelihara dalam pelbagai terjemahan jang atjapkali amat berbeda. Jang paling lengkap ialah terdjemahan dalam bahasa Etiopia. "Wasiat keduabelas bapa bangsa". Karya itu memuat nubuat dan berkah jang diutjapkan keduabelas anak Jakub (mojang-mojang Israil) waktu meninggal. "Kitab Jubile", jaitu suatu karya jang menggambarkan sedjarah dunia dari awal mula hingga djaman. Sedjarah itu terbagi atas djangka-djangka waktu empatpuluh sembilan tahun (Jubile; karena itu nama karya itu), walaupun "tahun" itu bukan tahun biasa. "Kitab Makabe" 3 dan 4 dan "Kitab Esra" 3 dan 4. Karya itu kerapkali termuat dalam naskah Septuaginta dan Vulgata. Kedalam apokrif-apokrif Perdjandjian Lama boleh dimasukkan naskah-naskah jang berasal dari Qumran. Qumran itu letaknja dipantai Laut Asin dan sekitar tahun 0 Masehi mendjadi pusat suatu tarekat Jahudi jang memisahkan diri dari agama resmi dan sedikit banjak serupa dengan "Serikat Biarawan". Antara tahun 1947 dan 1956 banjak naskah-naskah jang berasal dari terekat itu diketemukan kembali di-gua-gua disekitar Qumran. Diantaranja ada naskah-naskah Kitab Perdjandjian Lama (lengkap atau potongan-potongan), apokrif-apokrif jang sudah diketahui dan beberapa apokrif jang baru. Antara lain suatu "Anggaran Dasar" tarekat itu; naskah jang menggambarkan perang antara "Anak-anak terang" (anggota-anggota tarekat itu) dan "Anak-anak kegelapan", musuh-musuhnja pada achir djaman, banjak lagu jang berupa mazmur; tafsir-tafsir atas Kitab Sutji Perdjandjian Lama, dll. Apokrif-apokrif Perdjandjian Lama dan chususnja naskah-naskah dari Qumran itu amat penting untuk mengetahui suasana rohani dan keagamaan dikalangan Jahudi didjaman Perdjandjian Baru. Latar belakang kehidupan Jesus dan Geredja rasuli mendjadi lebih terang. apokrif-apokrif Perdjandjian Baru ada amat banjak dan bermatjam ragam. Ada "Indjil menurut Orang-orang Hibrani", "Indjil Thomas", "Indjil Petrus", "Indjil Jakobus" jang membitjarakan masa muda Jesus dan amat mempengaruhi ikonografi keristen. Dikalangan Islam banjak dibitjarakan dan dibatja "Indjil Barnabas" jang dianggap Indjil Jesus jang aseli. Sesungguhnja "Indjil Barnabas" itu dikarang abad 15-16 Masehi oleh seorang Keristen jang masuk Islam dan bermaksud membuktikan bahwa Jesus menubuatkan kedatangan Muhammad. Ada djuga pelbagai "Kisah Rasul", "Surat-surat Rasul-rasul" dan "Wahju". Ditinjau dari sudut ilmu sedjarah apokrif-apokrif Perdjandjian Baru tidak ada nilai sedikitpun. Tapi karangan-karangan itu penting untuk mengetahui suasana rohani dan keagamaan diantara kaum Keristen, chususnja pelbagai bida'ah.

Artikel ini diambil dari : 
Judul belum diketahui, tapi kami menyebutnya sebagai buku hijau. 1967. Halaman 11-15.  

No comments:

Post a Comment