Pendahuluan
Dewasa ini, dengan adanya aliran Modernisme dan Liberalisme, ada banyak orang yang mempertanyakan ke-Tuhanan Yesus. Mereka berpendapat, jika Kitab Suci tidak dapat dibuktikan secara historis, maka berarti isinya belum tentu benar. Akibatnya, mereka memisahkan Yesus sebagai Yesus yang sesungguhnya menurut sejarah (the Jesus of History), dan Yesus yang diimani oleh orang Kristen (the Christ of Faith), dan mengatakan bahwa Yesus yang diimani orang Kristen itu tidak sama dengan Yesus yang sesungguhnya ada dalam sejarah. Contohnya adalah the Five Gospels of the Jesus’ Seminar dan buku karangan Dan Brown, Da Vinci Code, yang intinya menyatakan bahwa seolah Yesus ‘dijadikan’ Tuhan oleh para pengikutNya, dan ke-Tuhanan Yesus baru diresmikan oleh Kaisar Konstantin sekitar tahun 325!
The Jesus of History= the Christ of Faith
Sesungguhnya, adalah sangat tidak masuk akal untuk memisahkan Yesus yang ada dalam sejarah dengan Kristus yang kita imani, apalagi jika kita mengatakan bahwa Yesus tidak pernah menyatakan DiriNya sendiri sebagai Tuhan. Jika kita memegang pendapat seperti demikian, kita seperti orang yang tidak percaya bahwa Bill Gates adalah seorang yang kaya, karena dia sendiri tidak pernah mengatakan, “Saya adalah orang kaya.” Padahal kenyataannya, Bill Gates adalah salah seorang yang berada dalam urutan atas orang-orang terkaya di dunia menurut Forbes magazine, dan yayasan yang didirikannya menyumbangkan sedikitnya 1.5 trilyun setiap tahun kepada para orang miskin. Jadi untuk tidak mempercayai bahwa Bill Gates adalah seorang yang kaya adalah sangat tidak masuk akal.
Demikianlah, kita tidak dapat memisahkan Yesus menurut sejarah dan menurut iman, karena memang keduanya adalah satu dan sama, dan Yesus yang sama itu menyatakan Diri-Nya sendiri sebagai Tuhan dengan berbagai cara di hampir semua bagian Injil. Pernyataan Yesus ini kemudian dinyatakan kembali oleh para rasul, sehingga para rasul bukannya mengada-ada, atau mengarang sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Gereja Katolik menurut Vatikan II kembali menegaskan hal tersebut.
Orang Kristen yang mengatakan bahwa Yesus tidak pernah menyatakan Diri-Nya sebagai Tuhan sesungguhnya hampir mengingkari iman Kristen-nya sendiri. Rasul Paulus pernah berkata, jika Kristus tidak sungguh-sungguh bangkit, (dan karenanya bukan Tuhan), maka sia-sialah iman kita (lih. 1 Kor 15:14). Jadi iman kita didasari oleh penjelmaan Tuhan sebagai manusia di dalam diri Yesus Kristus yang bangkit dari mati. Inilah kebenaran sejarah yang kita imani, dan yang kita amini setiap kali kita mengucapkan Syahadat Aku Percaya: “Aku Percaya akan Allah, Pencipta langit dan bumi, dan akan Yesus Kristus, Putera-Nya yang tunggal Tuhan kita, yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria, yang menderita sengsara dalam pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, wafat, dan dimakamkan, yang turun ke tempat penantian, pada hari ketiga bangkit dari antara orang mati…” Secara historis, Pontius Pilatus adalah nama gubernur pada jaman Yesus, sehingga dari sini kita mengetahui bahwa Yesus sungguh-sungguh hidup dan masuk dalam sejarah manusia.
Pemisahan the Jesus of history dan the Christ of Faith
Sesungguhnya, ide memisahkan Yesus menurut sejarah dan Kristus menurut yang diimani berakar dari jaman Pencerahan (Enlightenment) pada pertengahan abad ke- 19, di mana banyak para pakar Kitab Suci berpendapat bahwa Tuhan itu sepertinya hanya ‘penonton’ serupa ‘pembuat jam’ yang mengamati saja, tanpa dapat campur tangan di dalam sejarah manusia, kecuali dengan menetapkan hukum alam. Sehingga, mereka melucuti Injil dari pernyataan ke-Tuhanan Yesus dan keberadaan mukjizat-mukjizat, termasuk kelahiran Yesus dari Perawan Maria, dan kebangkitan badan, secara khusus kebangkitan Kristus sendiri. Salah seorang pelopor yang mengembangkan teori ini adalah David Friedrich Strauss in 1835 ((David Friedrich Strauss adalah tokoh Biblical Rationalism yang memakai filosofi Hegel untuk meneliti hidup Yesus. Buku karangannya adalah, Life of Jesus Critically Examined, dan ia berkesimpulan bahwa alkitab adalah mitos dan bukan sejarah.)) yang mengatakan bahwa Kristus yang diimani oleh orang Kristen berbeda dengan Yesus yang sesungguhnya dalam sejarah. Ide ini dinyatakan kembali oleh Albert Schweitzer dan kemudian oleh Rudolf Bultmann, yang menyimpulkan bahwa Yesus menurut sejarah hanyalah seorang Yahudi di Palestina yang mati disalib. ((Rudolf Bultmann, The History of the Synoptic Tradition, 1921, diterjemahkan oleh J Marsh, (Oxford, Blackwell, 1963) dan essaynya “The New Testament and Mythology”, dalam In Kerygma and Myth: A Theological Debate, vol.1, diterjemahkan oleh R.H. Fuller (London, 1953).)) Namun demikian, Bultmann menyimpulkan lebih jauh, dengan mengatakan hal ini memberikan ‘kebebasan’ bagi setiap orang Kristen untuk membentuk gambaran Yesus sendiri menurut iman yang sesuai dengan kebutuhannya. Ini adalah pemikiran Teologi Liberal yang melucuti Alkitab dan menyusun sendiri gambaran Yesus sesuai dengan keinginan manusia secara pribadi. Ini adalah ‘Relativism’: sebab Yesus digambarkan sesuai dengan kehendak pribadi dan bukannya sesuai dengan kebenaran yang sungguh terjadi. Pendapat seperti ini dikecam dengan keras oleh Paus Pius X dalam surat ensikliknya Pascendi Dominici gregis, yang menyebutkan ajaran yang sedemikian sebagai puncak dari segala ajaran sesat, “the synthesis of all heresies”, sebab ajaran tersebut menolak seluruh kebenaran objektif di dalam iman Kristiani.
Namun demikian, ajaran yang kita kenal sebagai ‘Modernism’ ini terus berlanjut sampai dengan abad ke 20, seperti yang kita lihat dalam the Five Gospels, hasil dari the Jesus Seminar. Dasar ajaran mereka: mereka tidak percaya bahwa ada Tuhan yang dapat menjadi manusia. Maka dengan ajaran ini, mereka ingin menghancurkan kebenaran Injil sebagai Sabda Tuhan.
Jika kita perhatikan, ajaran Modernism sesungguhnya ingin mengganti Trilemma tentang kemungkinan identitas Yesus menurut C.S. Lewis, yang sungguh terdengar sangat ‘keras’ di telinga orang Kristen (baca: Mengapa Orang Kristen percaya bahwa Yesus itu Tuhan?), yaitu: bahwa Kristus sungguh-sungguh Tuhan, atau Ia hanyalah seorang yang tidak waras ‘a lunatic’, atau Ia seorang yang lebih buruk daripada penipu ‘a liar’. Mereka menawarkan pendapat baru: bahwa Yesus sendiri tidak pernah menyatakan diri-Nya sebagai Tuhan. Dengan demikian, para Modernist sesungguhnya lebih ‘parah’ daripada yang menuduh Yesus sebagai ‘a lunatic/ a liar’ sebab kelompok yang terakhir ini setidak-tidaknya mengakui bahwa Yesus pernah menyatakan DiriNya sebagai Tuhan, hanya saja mereka tidak percaya; sedangkan para Modernist ini mengabaikan semuanya, dan menggeserkan tuduhan kepada para murid Yesus abad pertama, dengan mengatakan bahwa mereka (para murid) itu bersekongkol untuk mengarang suatu mitos/ legenda terbesar sepanjang sejarah, yaitu untuk mengatakan bahwa Yesus itu Tuhan.
Para murid Yesus tidak mungkin ‘mengarang’ mitos ke-Tuhanan Yesus
Namun, sesungguhnya, akal sehat sendiri dapat membuktikan bahwa tuduhan tersebut tidak mungkin benar, dan bahwa tidak mungkin para rasul adalah pembohong. Berikut ini adalah alasannya:
1) Sebuah mitos tidak mungkin dapat dibuat dalam jangka waktu yang terlalu dekat dengan kejadian aslinya, yaitu pada saat banyak saksi mata kejadian yang masih hidup dan dapat ditanyakan konfirmasinya. Injil ditulis pada generasi yang sama dengan para saksi mata tersebut. Injil Matius pada tahun 50 AD, Lukas dan Markus sekitar 62-68 AD, dan Yohanes tahun 90 AD. ((Dalam hal urutan keempat Injil ini memang terdapat beberapa pendapat. Namun yang di sini dipakai adalah yang berdasarkan kesaksian para Bapa Gereja, yang dapat dikatakan mengamati langsung penurunan Injil. Saksi utama adalah Papias (70-155 AD) seorang uskup Syria dan murid Rasul Yohanes, dan St. Irenaeus (180 AD) yang mengatakan urutan Injil adalah Rasul Matius, yang pertama menuliskan Injil dalam bahasa Ibrani, kemudian Markus yang adalah murid Rasul Petrus yang menuliskan Injil berdasarkan khotbah Petrus; lalu Lukas yang adalah murid Rasul Paulus, yang menulis berdasarkan khotbah Rasul Paulus, dan Rasul Yohanes, yang menulis Injil saat ia hidup di Efesus, Asia Minor. Namun demikian, pada jaman Kulturkampf (1871-1878), mulai dikatakan bahwa Injil pertama adalah Markus, baru kemudian Matius, Lukas dan Yohanes. Alasannya antara lain karena, Injil Markus tidak dituliskan dengan urutan yang baik, dan kisah Injil Markus banyak terdapat di-Injil sinoptik lainnya, seolah Injil yang lain ‘mengutip’ Markus. Mengenai hal ini Papias mengatakan, bahwa Injil Markus dituliskan tidak berurutan secara historis, karena dituliskan berdasarkan urutan khotbah Petrus. Sedangkan kenyataan bahwa Injil Markus seolah ‘menggabungkan’ kisah dari Injil sinoptik lainnya semakin memperkuat keilahian pesannya, sebab meskipun Injil ditulis oleh beberapa orang, namun dapat menunjukkan kesamaan inti dan isi ajaran Yesus.
)) Juga penting diketahui, bahwa para pengarang Injil adalah saksi Kristus yang terdekat: Matius dan Yohanes adalah Rasul Yesus, Markus adalah pembantu terdekat Rasul Petrus, dan Lukas adalah pembantu terdekat Rasul Paulus. Jadi, kita dapat mempercayai keaslian dan kebenaran tulisan mereka. Seandainya isi keempat Injil tersebut tidak benar, harusnya terdapat bukti sejarah dari abad pertama yang menyangkal kebenaran Injil (terutama soal kebangkitan Yesus). Namun kenyataannya, tidak ada satupun klaim pada abad awal yang menyangkal kebenaran tersebut yang dapat ditemukan dalam sejarah. ((Klaim yang menolak kebangkitan Yesus hanya datang di abad-abad berikut, yang pada dasarnya tidak mempercayai kebangkitan, dan bukannya dikatakan dari saksi mata pada jaman Yesus sendiri.)) Rasul Paulus dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus (55-56 AD) secara jelas menyebutkan Kebangkitan Kristus yang pada suatu kesempatan disaksikan lebih dari 500 orang, dan banyak dari antara mereka masih hidup dan dapat ditanya konfirmasinya (lih. 1 Kor 15:3-8).
2) Sangat tidak mungkin jika kita berpikir bahwa para rasul dapat membuat kebohongan yang konsisten, sebab manusia pada dasarnya lemah dan mudah ‘jatuh’ oleh tawaran suap. Satu kesempatan tawaran saja dapat mengubah semuanya, namun demikian, tidak satupun dari mereka mengubah kesaksian mereka tentang Yesus, walaupun mereka dipenjara, disiksa, bahkan dibunuh sebagai martir karena kesaksian tersebut. Ini membuktikan bahwa yang mereka katakan tentang Yesus adalah kebenaran, sebab sangat tidak mungkin orang rela mati untuk membela sebuah kebohongan.
3) Sangat tidak mungkin bahwa serangkaian mitos dapat dibuat pada jaman sejarah (di mana segala sesuatu dapat dibuktikan benar atau tidaknya) dan mitos tersebut mendapatkan penghormatan dari banyak orang.
4) Joseph Ratzinger/ Paus Benediktus XVI dalam bukunya, Jesus of Nazareth mengatakan bahwa tidak mungkin bahwa sekelompok orang yang tidak terkenal ini (para rasul yang mayoritas hanya nelayan) dapat begitu kreatif dan begitu meyakinkan dan dapat mempengaruhi seluruh dunia. Menjadi lebih logis jika kesaksian yang mereka sampaikan sungguh-sungguh terjadi. ((Lihat Joseph Ratzinger, Pope Benedict XVI, Jesus of Nazareth, (Double Day, New York, 2007), p. 229))
5) Pertumbuhan jemaat Kristen yang begitu pesat pada abad pertama hanya dapat dijelaskan oleh kesaksian hidup para murid yang mencerminkan kekudusan, jumlah para murid yang dibunuh sebagai martir untuk membela iman mereka, termasuk di dalamnya hampir semua rasul Yesus, dan ke-empat tanda Gereja yang terbentuk pada saat itu: satu, kudus, katolik dan apostolik. Mitos atau legenda tidak akan mungkin pernah mempengaruhi banyak orang untuk percaya, apalagi sampai menyerahkan hidup mereka.
Maka kesimpulannya: apa yang dikatakan oleh para rasul itu adalah benar. Sebab ke-empat Injil sendiri dipenuhi oleh pernyataan ke-Tuhanan Yesus yang dikatakan oleh Yesus dengan berbagai cara.
Yesus menyatakan bahwa Dia adalah Tuhan dengan berbagai cara
Marilah kita lihat beberapa contohnya, seperti berikut:
1) Pertama-tama, ketika berusia 12 tahun dan Ia diketemukan di Bait Allah, Yesus mengatakan bahwa bait Allah adalah Rumah Bapa-Nya (lih. Luk 2:49). Dengan demikian, Yesus mengatakan bahwa Ia adalah Putera Allah.
2) Pernyataan ini ditegaskan kembali oleh Allah Bapa pada saat Pembaptisan Yesus, saat terdengar suara dari langit, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nya Aku berkenan.”(Mat 3:17; Luk 3:22). Pernyataan serupa kembali dinyatakan Allah Bapa pada saat Transfigurasi, Yesus dimuliakan di atas gunung (lih. Mat 17:5; Mrk 9:7).
3) Yesus adalah Tuhan yang mengatasi para malaikat. Setelah Dia mengatasi cobaan Iblis di padang gurun, para malaikat- pun datang melayani Dia (lih. Mat 3:11).
4) Pada saat Yesus memulai pengajaranNya, terutama dalam Khotbah di Bukit (Delapan Sabda Bahagia), Ia berbicara di dalam nama-Nya sendiri, untuk menyatakan otoritas yang dimiliki-Nya (Mat 5:1-dst). Ini membuktikan bahwa Ia lebih tinggi dari Musa dan para nabi ((Lihat misalnya para nabi mengatakan “Beginilah firman Allah, …” (Yeh 30:1; 33:1;34:1; Yer 6:22; 16:1; 32:6; Hos 1:1; Yoel 1:1, atau “demikianlah firman Tuhan”, (Yes 1:24; Yeh 30:10, dst), atau “beginilah firman Tuhan Allah ….”, (Yeh 43:11; Yer 15:19; 19:1; 25:32; 31:15, 16,23,35,37, Am 1:6); atau “Tuhan berfirman kepadaku,” (Yer 14:11).)), sebab Musa berbicara dalam nama Tuhan (lih. Kel 19:7) ketika Ia memberikan hukum Sepuluh Perintah Allah; tetapi Yesus memberikan hukum dalam nama-Nya sendiri, “Aku berkata kepadamu….” Hal ini tertera sedikitnya 12 kali di dalam pengajaran Yesus di Mat 5 dan 6, dan dengan demikian Ia menegaskan DiriNya sebagai Pemberi Hukum Ilahi (the Divine Legislator) itu sendiri, yaitu Allah. Demikian pula dengan perkataan “Amen, amen…”, pada awal ajaranNya, Yesus menegaskan segala yang akan diucapkan-Nya sebagai perintah; bukan seperti orang biasa yang mengatakan ‘amen’ diakhir doanya sebagai tanda ‘setuju’.
5) Jadi dengan demikian Yesus menyatakan bahwa Ia adalah Taurat Allah yang hidup, suatu peran yang sangat tinggi dan ilahi, sehingga menjadi batu sandungan bagi orang-orang Yahudi untuk mempercayai Yesus sebagai Sang Mesias. Hal ini dipegang oleh banyak orang Yahudi yang diceriterakan dengan begitu indah dalam buku Jesus of Nazareth, yaitu dalam percakapan imajiner seorang Rabi Yahudi dengan Rabi Neusner, ((Joseph Ratzinger, Pope Benedict XVI, Jesus of Nazareth, Ibid., p. 108-109, mengutip Rabbi Neusner (Jacob Neusner, A Rabbi Talks with Jesus (Montreal: McGill- Queen’s University Press, 2000), membayangkan suatu dialogue antara dirinya dengan seorang Rabbi kuno Yahudi tentang ajaran Yesus. Ia membandingkan ajaran Yesus dengan teks Talmud Babilonia untuk mencari kebenaran Hukum Tuhan. Rabbi itu bertanya kepada Neusner:
He: ”So, is this what the sage, Jesus, had to say?” (Jadi inikah yang dikatakan Yesus, sang saga?)
I: “Not exactly, but close.” (Tidak persis, tapi hampir mendekati)
He: “What did He leave out?” (Apa yang tidak disebutkan-Nya?)
I: “Nothing.” (Tidak ada)
He: “Then what did He add?” (Jadi, apa yang ditambahkan-Nya?)
I: “Himself”… (Diri-Nya sendiri)
He: “Well, why so troubled this evening?” (Lalu, kenapa engkau gundah sore ini?).
I: “Because I really believe there is a difference between “You shall be holy, for the Lord your God am holy” and “If you would be perfect, go, sell all you have and come, follow me.” (Sebab saya percaya ada perbedaan antara “Engkau harus menjadi kudus, sebab Tuhan Allahmu adalah kudus” dengan “Jika engkau mau sempurna, pergilah, juallah segala milikmu, dan datanglah, ikutlah aku.)
He: “I guess then, it really depends on who the ‘me’ is.” (Saya pikir, itu tergantung dari siapa sang ‘aku’ itu).))
Mengenai bagaimana mencapai kesempurnaan hidup: Kesempurnaan inilah yang dimaksudkan oleh Yesus ketika Ia berbicara dengan orang muda yang kaya, “Jika engkau mau sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan bagikanlah kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku” (Mat 19:21). “Aku” di sini hanya mungkin berarti Tuhan sendiri.
6) Yesus menyatakan DiriNya sebagai Seorang yang dinantikan oleh para Nabi sepanjang abad (lih. Mat 13:17). Ia juga berkata,“…supaya kamu menanggung akibat penumpahan darah orang yang tidak bersalah mulai dari Habel, … sampai Zakharia… semuanya ini akan ditanggungkan pada angkatan ini!” (Mat 23:34-36). Secara tidak langsung Ia mengatakan bahwa darah-Nya yang akan tertumpah dalam beberapa hari berikutnya merupakan rangkuman dari penumpahan darah orang yang tidak bersalah sepanjang segala abad.
7) Yesus sebagai Tuhan juga terlihat dengan jelas dari segala mukjizat yang dilakukan dalam nama-Nya sendiri, yang menunjukkan bahwa kebesaran-Nya mengatasi segala sesuatu. Yesus menghentikan badai (Mat 8: 26; Mrk 4:39-41) menyembuhkan penyakit (Mat 8:1-16, 9:18-38, 14:36, 15: 29-31), memperbanyak roti untuk ribuan orang (Mat 14: 13-20; Mrk 6:30-44; Luk 9: 10-17; Yoh 6:1-13), mengusir setan (Mat 8:28-34), mengampuni dosa (Luk5:24; 7:48), dan membangkitkan orang mati (Luk 7:14; Yoh 11:39-44). Di atas semuanya itu, mukjizat-Nya yang terbesar adalah: Kebangkitan-Nya sendiri dari mati (Mat 28:9-10; Luk 24:5-7,34,36; Mrk 16:9; Yoh 20:11-29; 21:1-19).
8) Pada saat Ia menyembuhkan orang yang lumpuh, Yesus menyatakan bahwa Ia memiliki kuasa untuk mengampuni dosa (Mat 9:2-8; Luk5:24), sehingga dengan demikian Ia menyatakan DiriNya sebagai Tuhan sebab hanya Tuhan yang dapat mengampuni dosa.
9) Pada beberapa kesempatan, Yesus menyembuhkan para orang sakit pada hari Sabat, yang menimbulkan kedengkian orang-orang Yahudi. Namun dengan demikian, Yesus bermaksud untuk menyatakan bahwa Ia adalah lebih tinggi daripada hari Sabat (lih. Mat 12:8; Mrk 3:1-6).
10) Yesus juga menyatakan Diri-Nya lebih tinggi dari nabi Yunus, Raja Salomo dan Bait Allah (lih. Mt 12:41-42; 12:6). Ini hanya dapat berarti bahwa Yesus adalah Allah, kepada siapa hari Sabat diadakan, dan untuk siapa Bait Allah dibangun.
11) Yesus menyatakan Diri-Nya sebagai Tuhan, dengan berkata “Aku adalah… (I am)” yang mengacu pada perkataan Allah kepada nabi Musa pada semak yang berapi, “Aku adalah Aku, I am who I am” (lih. Kel 3:14):
a) Pada Injil Yohanes, Yesus mengatakan “Aku adalah….” sebanyak tujuh kali: Yesus menyatakan Dirinya sebagai Roti Hidup yang turun dari Surga (Yoh 6:35), Terang Dunia (Yoh 8:12), Pintu yang melaluinya orang diselamatkan (Yoh 10:9), Gembala yang Baik yang menyerahkan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya (Yoh 10:10), Kebangkitan dan Hidup (Yoh 11:25), Jalan, Kebenaran, dan Hidup (Yoh 14:6), Pokok Anggur yang benar (Yoh 15:1).
b) Yesus menyatakan diri-Nya sebagai sumber air hidup yang akan menjadi mata air di dalam diri manusia, yang terus memancar sampai ke hidup yang kekal (Yoh 4:14). Dengan demikian Yesus menyatakan diri-Nya sebagai sumber rahmat; hal ini tidak mungkin jika Yesus bukan Tuhan, sebab manusia biasa tidak mungkin dapat menyatakan diri sebagai sumber rahmat bagi semua orang.
c) Yesus menyatakan, “Aku adalah jalan, kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14:6); dan dengan demikian Ia menempatkan diri sebagai Pengantara yang mutlak bagi seseorang untuk sampai kepada Allah Bapa.
d) Ia menyatakan bahwa “… kamu akan mati dalam dosamu… jika kamu tidak percaya bahwa Akulah Dia” (Yoh 8:24) yang datang dari Bapa di surga (lih. Yoh 21-29).
e) Yesus mengatakan, “Aku ini (It is I)…”, pada saat Ia berjalan di atas air (Yoh 6:20) dan meredakan badai.
f) Ketika Yesus diadili di hadapan orang Farisi, dan mereka mempertanyakan apakah Ia adalah Mesias Putera Allah, Yesus mengatakan, “Kamu sendiri mengatakan, bahwa Akulah Anak Allah.” ((Ungkapan “kamu mengatakan demikian….” Adalah ungkapan dalam bahasa Ibrani yang menyatakan konfirmasi dari apa yang dikatakan.)) h) Mungkin yang paling jelas adalah pada saat Yesus menyatakan keberadaan DiriNya sebelum Abraham, “…sebelum Abraham jadi, Aku telah ada.” (Yoh 8:58)
g) Yesus mengatakan, “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan.” (Yoh 13:13).
12) Dengan demikian, Yesus menyatakan Diri-Nya sudah ada sebelum segala sesuatunya dijadikan. Dan ini hanya mungkin jika Yesus sungguh-sungguh Tuhan. Mengenai keberadaan Yesus sejak awal mula dunia dinyatakan oleh Yesus sendiri di dalam doa-Nya sebelum sengsara-Nya, “Bapa, permuliakanlah Aku pada-Mu sendiri dengan kemuliaan yang Kumiliki di hadirat-Mu sebelum dunia ada.” (Yoh 17:5)
13) Dengan keberadaan Yesus yang mengatasi segala sesuatu, dan atas semua manusia, maka Ia mensyaratkan kesetiaan agar diberikan kepadaNya dari semua orang. “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari Aku, ia tidak layak bagi-Ku” (Mat 10:37). Ia kemudian berkata bahwa apa yang kita lakukan terhadap saudara kita yang paling hina, itu kita lakukan terhadap Dia (lih. 25:40). Ini hanya dapat terjadi kalau Yesus adalah Tuhan yang mengatasi semua orang, sehingga Dia dapat hadir di dalam diri setiap orang, dan Ia layak dihormati di atas semua orang, bahkan di atas orang tua kita sendiri.
14) Yesus menghendaki kita percaya kepada-Nya seperti kita percaya kepada Allah (lih. Yoh 14:1), dan Ia menjanjikan tempat di surga bagi kita yang percaya. Dengan demikian Ia menyatakan diriNya sebagai yang setara dengan Allah Bapa, “Siapa yang melihat Aku, melihat Bapa, (Yoh 14:9), Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa (Yoh 10:38). Tidak ada seorangpun yang mengenal Anak selain Bapa, dan mengenal Bapa selain Anak (lih. Mat 11:27). Yesus juga menyatakan DiriNya di dalam kesatuan dengan Allah Bapa saat mendoakan para muridNya dan semua orang percaya, ”… agar mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau…” (Yoh 17:21). Ini hanya mungkin jika Ia sungguh-sungguh Tuhan. Pernyataan Yesus ini berbeda dengan para pemimpin agama lain, seperti Muhammad dan Buddha, sebab mereka tidak pernah menyatakan diri mereka sendiri sebagai Tuhan.
15) Ketika Yesus menampakkan diri kepada para murid setelah kebangkitan-Nya, Thomas, Rasul yang awalnya tidak percaya menyaksikan sendiri bahwa Yesus sungguh hidup dan ia berkata, “Ya Tuhanku dan Allahku”. Mendengar hal ini, Yesus tidak menyanggahnya (ini menunjukkan bahwa Ia sungguh Allah), melainkan Ia menegaskan pernyataan ini dengan seruanNya agar kita percaya kepadaNya meskipun kita tidak melihat Dia (Yoh 20: 28-29).
16) Yesus menyatakan Diri sebagai Tuhan, dengan menyatakan diriNya sebagai Anak Manusia, yang akan menghakimi semua manusia pada akhir jaman (lih. Mat 24:30-31), sebab segala kuasa di Surga dan di dunia telah diberikan kepada-Nya, seperti yang dikatakanNya sebelum Ia naik ke surga, “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, dan Putera dan Roh Kudus…” (Mat 28:18). Dengan demikian, Yesus menyatakan diriNya sebagai Pribadi Kedua di dalam Allah Tritunggal Maha Kudus, dan dengan kuasaNya sebagai Allah ini maka ia akan menghakimi semua manusia di akhir dunia nanti, seperti yang dinubuatkan oleh nabi Daniel (Dan 7:13-14). Yesus tidak mungkin membuat pernyataan sedemikian, jika Ia bukan sungguh-sungguh Tuhan.
Para Rasul hanya meneruskan kesaksian ini
Jelaslah, bahwa dengan menyaksikan Yesus yang mereka kenal secara nyata dalam sejarah, maka para Rasul dapat dengan penuh keyakinan, menyatakan ke-Tuhanan Yesus. Rasul Petrus menyatakan Yesus Kristus sebagai Allah, dan bahwa ia dan rasul-rasul yang lain mendengar bagaimana pernyataan tersebut dinyatakan dari langit pada saat Yesus dimuliakan di atas gunung Tabor (lih. 2 Pet1:16-19). Rasul Paulus, menjabarkan kisah kebangkitan Yesus dengan menyebutkan juga adanya lebih dari 500 orang saksi yang melihat bahwa Yesus telah menampakkan diri-Nya dimulai dari hari ketiga setelah kematian-Nya (lih. 1 Kor 15:3-8). Rasul Paulus, yang juga menjadi salah satu saksi itu, kemudian mengajarkan bahwa Yesus, adalah Tuhan sebanyak sekitar 230 kali di dalam surat-suratnya kepada jemaat pertama. Rasul Yohanes mengungkapkan bahwa ia ‘mengingat’ akan apa yang dikatakan Yesus sebelumnya, pada ketiga kejadian yang cukup penting dalam sejarah hidup Yesus: pada saat Yesus menyucikan Bait Allah (Yoh 2:22), pada waktu Minggu Palma (Yoh 12:16),dan Kebangkitan Yesus (Yoh 20:8-9). Hal ini menyatakan bahwa yang ditulisnya benar-benar terjadi. Dari semua ini, kita melihat bahwa pernyataan para rasul adalah sangat jelas dan sederhana, yaitu: kesaksian tentang Yesus sebagai Tuhan adalah kebenaran, dan mereka adalah saksinya. Dengan demikian, tidak mungkin ada pemisahan antara Yesus menurut sejarah dan Yesus yang diimani.
Jadi Ke-Tuhanan Yesus bukan baru diresmikan di awal abad ke- 4!
Dengan uraian di atas, sesungguhnya jelas bahwa Ke-Tuhanan Yesus bukan rekayasa para murid, atau bahkan seperti yang dituduhkan banyak orang, ‘baru diresmikan’ di tahun 325 oleh Kaisar Konstantin. Yang benar adalah: Yesus sebagai Tuhan sudah menjadi kepercayaan jemaat Kristiani sejak zaman para rasul, namun kemudian sekitar tahun 319, terdapat ajaran sesat dari Arius, yang mengatakan bahwa Yesus adalah bukan Tuhan dan tidak sejajar dengan Allah Bapa. Untuk menolak ajaran sesat ini, maka Gereja Katolik, yang waktu itu disponsori oleh pemerintah Konstantin, mengadakan Konsili Nicea (325), yang dihadiri oleh sekitar 300 uskup yang hampir semua serentak menolak ajaran sesat Arianisme ini. ((Ada kebohongan besar dalam buku
Da Vinci Code yang menyatakan bahwa sebelum Konsili Nicea Yesus hanya dilihat sebagai Nabi dan manusia biasa, dan bahwa diadakan voting pada Konsili tersebut yang hanya berselisih tipis antara uskup yang menerima dengan yang menolak . Kenyataan sejarah yang benar adalah, dari 300 uskup yang hadir, hanya dua orang uskup yang setuju dengan pendapat Arius, (lihat
http://en.wikipedia.org/wiki/First_Council_of_Nicaea) yaitu, Arius sendiri dan Eusebius dari Nicomedia!)) Konsili ini menyatakan bahwa Yesus adalah satu substansi (
con-substantial) dengan Allah Bapa. Dengan demikian,
Konsili Nicea bertujuan untuk menegaskan kembali ajaran Gereja tentang ke-Tuhanan Yesus, dan bukan baru meresmikan ke- Tuhanan Yesus!
Penegasan dari Gereja Katolik dewasa ini
Vatikan II melalui Dei Verbum menolak pendapat kaum Modernist ini. Gereja menegaskan kembali asal Injil ini dari para Rasul sendiri yang menjadi saksi hidup Yesus, dan dengan demikian mengkonfirmasi kebenaran pesan Injil (lih. DV 18). ((Vatikan II, Dei Verbum, 18, mengatakan, “Selalu dan di mana-mana Gereja mempertahankan dan tetap berpandangan, bahwa keempat Injil berasal dari para rasul. Sebab apa yang atas perintah Kristus diwartakan oleh para rasul, kemudian dengan ilham Roh ilahi diteruskan secara tertulis kepada kita oleh mereka dan orang-orang kerasulan, sebagai dasar iman, yakni Injil dalam keempat bentuknya menurut Mateus, Markus, Lukas dan Yohanes.”)) Selanjutnya, Gereja menegaskan nilai historis Injil, dengan menyebutkan bahwa apa yang tertulis di dalamnya adalah yang sungguh-sungguh Yesus perbuat dan ajarkan untuk keselamatan kekal (lih. DV 19). ((Vatikan II, Dei Verbum 19, “…bahwa keempat Injil tersebut, yang sifat historisnya diakui tanpa ragu-ragu, dengan setia meneruskan apa yang oleh Yesus Putera Allah selama hidupnya diantara manusia sungguh telah dikerjakan dan diajarkan demi keselamatan kekal mereka, sampai hari Ia diangkat (lih. Kis1:1-2). Sesudah kenaikan Tuhan para Rasul meneruskan kepada para pendengar mereka apa yang dikatakan dan dijalankan oleh Yesus sendiri, dengan pengertian yang lebih penuh, yang mereka peroleh karena dididik oleh peristiwa-peristiwa mulia Kristus dan oleh terang Roh kebenaran.”))
Paus Yohanes Paulus II dalam surat Apostolik Novo Millineo Ineunte, mengulangi DV 18 dan DV 19, bahwa Injil dituliskan berdasarkan kesaksian historis/ sejarah. Walaupun demikian, kita tidak menganggap Injil sebagai buku biografi Yesus dalam urutan kronologis. Perhatian pada urutan kronologis dapat membuat seseorang menjadi seperti para Modernist, yang melihat Injil sebagai buku cerita, dan menganggap Injil Yohanes sebagai hanya puisi tentang Yesus, yang ditulis oleh para murid Rasul Yohanes, dan kemudian ditulis seolah-olah dikatakan oleh Yesus!
Mengenai hal ini, Paus Benediktus XVI melalui Jesus of Nazareth mengatakan bahwa memang Injil Yohanes tidak dituliskan dengan urutan historis yang kaku seperti dalam transkrip rekaman, tetapi dalam hal isi, merupakan pernyataan-pernyataan yang berasal dari Yesus sendiri, sehingga pesan Injil tersebut menunjuk kepada Yesus yang sesungguhnya. Segala gambaran dalam Injil Yohanes (air, roti, anggur, Gembala) seperti halnya perumpamaan- perumpamaan yang tertulis dalam Injil Matius, Lukas, dan Markus, dimaksudkan untuk menggambarkan Yesus dan rencana keselamatan-Nya.
Katekismus Gereja Katolik juga sangat jelas menegaskan kembali sikap Gereja dalam hal ini ((Lihat Katekismus Gereja Katolik 512- 682)) : bahwa Kristus yang tertulis dalam Injil adalah Kristus yang sama dengan Kristus yang ada di dalam sejarah. Injil membantu kita untuk mengalami Yesus yang sungguh hadir dalam sejarah, dan mengimani-Nya. Paus Benediktus XVI menegaskan, bahwa segala gambaran Yesus yang dihasilkan oleh metoda historis modern janganlah sampai membuat kita menciptakan sendiri gambaran Yesus, dan kemudian menyebutnya sebagai Yesus menurut sejarah, lalu menuduh bahwa Injil hanya rekaan jemaat abad pertama. Sekali lagi, hal ini tidak mungkin terjadi, sebab cara sedemikian pasti menimbulkan kontradiksi yang tidak memungkinkan berkembangnya Iman Kristiani sampai sekarang, yang sudah mengubah dunia. ((Lihat Joseph Ratzinger, Gospel, Catechesis, Catechism: Sidelights on the Catechism of the Catholic Church, p. 64-66.))
Penutup
Pada akhirnya, kita harus mengakui soal menerima ke-Tuhanan Yesus adalah soal iman. Bagi mereka yang percaya, memang bukti sejarah sampai sedetail-detail-nya tidak diperlukan. Tapi bagi mereka yang tidak percaya, bahkan bukti yang sudah nyata dan detail sekalipun tidak dirasa cukup. Akhirnya, kita meyakini bahwa iman adalah karunia. Kita percaya akan janji Tuhan Yesus, “… Inilah kehendak Bapa-Ku, yaitu supaya setiap orang, yang melihat Anak dan percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal, dan supaya Aku membangkitkannya pada akhir zaman.” (Yoh 6:40). Dan karena Tuhan Yesuslah yang menghakimi semua orang di akhir zaman nanti, patutlah kita memegang janjiNya ini, dan dengan iman yang teguh kepada-Nya, kita percaya Dia akan memenuhi janji-Nya. Terpujilah Tuhan Yesus!
Di ayat- ayat manakah Yesus disebut sebagai Allah (God)?
Ada pandangan sementara orang yang meragukan ke-Allahan Yesus, karena mereka menyangka bahwa di Kitab Suci tidak ayat yang menyatakan bahwa Yesus adalah Allah. Nampaknya mereka sampai pada kesimpulan ini karena: 1) mereka membedakan istilah ‘Tuhan’ dengan ‘Allah’; 2) mereka mengabaikan banyaknya ayat lain yang secara implisit namun jelas menyatakan bahwa Yesus adalah Allah, 3) mereka tidak mengartikan Kitab Suci dengan terang Tradisi Suci para Rasul.
Gereja Katolik tidak membedakan istilah antara Tuhan dengan Allah, karena memang keduanya sama maknanya, jika mengacu kepada Sang Ilahi. Bahwa kata ‘Kurios‘ (bahasa Yunani) /’Adonai‘ (bahasa Ibrani)/’Tuhan‘ dapat mengacu juga kepada arti kata ‘tuan’ atau bahkan ‘suami’, sebagaimana pernah diuraikan di sini, silakan klik, itu memang benar, tetapi jika istilah itu ditujukan kepada Sang Ilahi, maka istilah tersebut mengacu kepada Allah yang sama. Itulah sebabnya dalam ayat-ayat Kitab Suci istilah Allah dan Tuhan sering diletakkan berdampingan dan sejajar, untuk menunjukkan kesetaraan makna istilah tersebut.
Beberapa contoh ayat yang menyebutkan Yesus sebagai Tuhan dan Allah, sebagai Mesias, Kristus, Anak Allah, dan dengan demikian, sehakekat dengan Allah adalah:
1. Di hadapan Mahkamah Agama, sebelum para tua-tua Yahudi membawa Yesus untuk dihukum mati, mereka bertanya, “Kalau begitu, Engkau ini Anak Allah?” (lih. juga, Mat 26:63, “…katakanlah kepada kami, apakah Engkau Mesias, Anak Allah, atau tidak?”). Jawab Yesus: “Kamu sendiri mengatakan, bahwa Akulah Anak Allah.” Lalu kata mereka: “Untuk apa kita perlu kesaksian lagi? Kita ini telah mendengarnya dari mulut-Nya sendiri.” (Luk 22:70-71).
St. Thomas Aquinas dalam bukunya Catena Aurea menjelaskan ayat ini dalam Injil Matius, dengan mengutip pengajaran St. Ambrosius, “Tuhan Yesus lebih berkehendak untuk membuktikan bahwa diri-Nya adalah Raja [Anak Allah], daripada mengatakan bahwa diri-Nya sendiri adalah Raja [Anak Allah], sehingga mereka [para tua-tua Yahudi] tidak mempunyai alasan untuk menghukum-Nya, ketika mereka mengakui kebenaran yang atasnya mereka menuntut Dia. Maka Yesus berkata, “Kamu sendiri mengatakan bahwa Akulah Anak Allah.”
Yesus menyatakan Diri-Nya sebagai Allah, dengan berkata, “Aku adalah… (I am)” yang mengacu pada perkataan Allah kepada nabi Musa pada semak yang berapi, “Aku adalah Aku, I am who I am” (lih. Kel 3:14). “Aku adalah Aku” adalah arti dari kata Yahweh. Istilah “Alfa dan Omega” (sebab awal dan tujuan akhir segala sesuatu), yang mengacu kepada Allah sendiri, juga dikatakan oleh Kristus tentang siapa Diri-Nya (Why 1:8, 21:6; 22:13). Itulah sebabnya Yesus mengatakan bahwa sebelum Abraham ada, Ia sudah ada terlebih dahulu (Yoh 8:58), dan justru karena jawaban ini, yang secara jelas menyatakan bahwa Ia adalah Allah, maka Yesus dijatuhi hukuman mati atas tuduhan menghujat Allah.
Yesus juga jelas menyatakan bahwa Ia adalah Tuhan, “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan.” (Yoh 13:13) Tidak ada seorang-pun yang lain, yang pernah berkata demikian.
2. Ketika Rasul Tomas melihat Yesus yang telah bangkit dan menampakkan diri-Nya, ia berkata, “Ya, Tuhanku (Kurios/ Lord) dan Allahku (Theos/ God)” – (Yoh 20:28).
Kitab Mazmur dalam Perjanjian Lama juga menyebut Allah dengan sebutan ‘Elohim’/ God, dan ‘Adonai’/ Lord, “Terjagalah dan bangunlah membela hakku, membela perkaraku, ya Allah [Elohim]-ku dan Tuhan [Adonai]-ku!” (Mzm 35:23).
“Sebab kepada-Mu, ya TUHAN [YHWH/ Yehovah], aku berharap; Engkaulah yang akan menjawab, ya Tuhan [Adonai], Allahku [Elohim].” (Mzm 38:15)
“Ya TUHAN [YHWH/ Yehovah], Tuhan [Adonai] kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! …. Ya TUHAN [YHWH/ Yehovah], Tuhan [Adonai] kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! (Mzm 8:1,9).
Fakta bahwa Tuhan Yesus yang bangkit tidak mengatakan apapun yang menyanggah ucapan Tomas, menyatakan bahwa Ia membenarkan perkataan Tomas, dan bahkan meneguhkan kepercayaan Tomas dengan berkata, “Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” (Yoh 20:29). ‘Percaya’, yang dimaksud di sini adalah percaya bahwa Yesus adalah Tuhan dan Allah (Yoh 20:28), dan karena itu Ia dapat bangkit dari kematian, di mana kebangkitan-Nya merupakan kemenangan-Nya atas dosa dan maut.
3. Rasul Petrus mewakili para Rasul pada hari Pentakosta, mengajarkan bahwa Yesus adalah Kristus, dan sebutan Kristus mengacu kepada Mesias (lih. Yoh 1:41; 4:25), Anak Allah yang hidup (Mat 16:16).
“Jadi seluruh kaum Israel harus tahu dengan pasti, bahwa Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus.” (Kis 2:36)
“Karena Yesus Kristus, Anak Allah, yang telah kami beritakan di tengah-tengah kamu …” (2Kor 1:19)
Rasul Petrus juga menyebut Yesus sebagai sumber keselamatan kekal, dan dengan demikian menyatakan bahwa Yesus adalah Allah, sebab hanya Allah-lah yang dapat memberikan keselamatan kekal kepada manusia (lih. Kis 4:12, 10:42-43)
4. Rasul Paulus juga mengajarkan bahwa Kristus adalah Allah:
“Mereka adalah keturunan bapa-bapa leluhur, yang menurunkan Mesias dalam keadaan-Nya sebagai manusia, yang ada di atas segala sesuatu. Ia [Yesus Sang Mesias] adalah Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya. Amin!” (Rom 9:5)
“Ia mendidik kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan beribadah di dalam dunia sekarang ini dengan menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh bahagia dan penyataan kemuliaan Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus….” (Tit 2:12-13)
“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa! (Flp 2:5-11)
Sedangkan, di banyak ayat yang lain Rasul Paulus menyatakan bahwa Yesus adalah Allah, yang walaupun berbeda Pribadi dengan Allah Bapa, namun satu dan setara dengan Dia:
Yesus Kristus disebut sebagai Pencipta, maka Yesus adalah Allah, sebab hanya Allah-lah yang menciptakan segala sesuatu: “Ia [Kristus] adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, … karena di dalam Dia [Kristus]-lah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, segala sesuatu diciptakan oleh Dia [Kristus] dan untuk Dia [Kristus]. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia [Kristus].” (Kol 1:15-17)
“Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia [Kristus]” (Kol 1:19).
“namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup.” (1Kor 8:6)
“Ia [Kristus] adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan….” (Ibr 1:3). Hanya Allah sajalah yang menopang segala ciptaan-Nya dengan firman-Nya.
5. Rasul Yohanes juga mengajarkan bahwa Yesus, Sang Firman, adalah Allah:
“Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia [Sang Firman/ Kristus] dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Dalam Dia [Sang Firman/ Kristus] ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia…. Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.” (Yoh 1:1-4, 14)
“Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup– itulah yang kami tuliskan kepada kamu. Hidup itu telah dinyatakan, dan kami telah melihatnya dan sekarang kami bersaksi dan memberitakan kepada kamu tentang hidup kekal, yang ada bersama-sama dengan Bapa dan yang telah dinyatakan kepada kami. Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan kepada kamu juga, supaya kamupun beroleh persekutuan dengan kami. Dan persekutuan kami adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-Nya, Yesus Kristus. (1Yoh 1:1-4)
Di samping ayat-ayat ini terdapat begitu banyak ayat yang lain dalam Kitab Suci yang menyatakan ke-Allahan Yesus, sebagaimana pernah ditulis di artikel ini, Kristus yang kita imani = Yesus menurut sejarah, silakan klik, dan Aku Percaya akan Yesus Kristus, Putera Allah yang Tunggal silakan klik. Sedangkan secara garis besar, Mengapa Orang Kristen percaya bahwa Yesus itu Tuhan, klik di sini.
==========================
Artikel ini diterjemahkan dari teks ceramah berbahasa Inggris yang disampaikan dalam sidang pleno Lausanne II, di mana pembicara adalah satu-satunya wakil Asia Tenggara yang memimpin sidang pleno dalam Kongres di Manila ini.
Dosa dan fakta
Tidak menyadari adanya bahaya merupakan bahaya yang lebih besar daripada bahaya itu sendiri. Demikian juga kemasabodohan dan kesalahmengertian mengenai dosa adalah berbahaya seperti dosa itu sendiri.
Tuhan tidak membagi manusia ke dalam 2 kategori ketika Ia berkata, “Aku datang bukan untuk memanggil yang benar, tapi yang berdosa untuk bertobat.” Ini hanya sebuah ironi untuk orang berdosa yang tidak sadar akan keadaan mereka yang berdosa itu. Alkitab mengajar dengan jelas bahwa dosa adalah fakta yang dibukakan oleh Allah yang benar kepada manusia yang berdosa. Namun kesulitannya terletak pada bagaimana orang berdosa dapat mengerti dengan tepat akan keberdosaannya. Karena dosa juga telah merusak pada aspek pengertian manusia. Itulah alasan mengapa Alkitab terus menerus mengajarkan bahwa satu-satunya jalan untuk menjadi sadar mengenai dosa manusia adalah melalui iluminasi Roh Kudus. Sejak zaman Renaisance pandangan dunia yang anthroposentris mengenai manusia alami telah mencoba untuk mengintepretasikan ‘Allah’ dan ‘jiwa’ melalui diri manusia sendiri yang berdosa sebagai titik pusat dari alam semesta. Dengan menjunjung tinggi rasio sebagai alat mutlak untuk menemukan kebenaran dan menganggap natur sebagai tujuan akhir dari hasil yang dicapai untuk memecahkan semua problem manusia. Tapi sejarah menyatakan kesaksian yang jujur mengenai kegagalan manusia. Di bawah segala pencapaian hasil dangkal dalam ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, pendidikan, psikologi, filsafat, dan bahkan agama, ada penyebab, yang nyata dan konsisten, dari ketidakseimbangan dan masalah-masalah. Lingkungan kita padat dengan jiwa-jiwa yang kosong sementara berlimpah materi, penuh kekuatiran akan perang sementara pembicaraan mengenai perdamaian tidak berhenti, penuh dengan ketidakamanan sementara dihasilkan senjata-senjata yang tercanggih. Bertambahnya angka bunuh diri sementara tersedia alat kehidupan yang lebih baik; kehancuran keluarga meningkat sementara kebebasan sex dan percintaan makin meluas. Kita sedang bermimpi dari Renaisance sampai abad 20 mengenai otonomi manusia yang lepas dari campur tangan Allah. Khususnya sejak abad 19, begitu banyak ideologi yang muncul untuk menciptakan satu optimisme modern yang naif, termasuk teologi liberal, evolusionisme dan komunisme. Semua ini gugur pada perang-perang yang menakutkan dalam abad 20. Demikian juga dengan revolusi internasional, politik, komunisme dan politik nasional, dan filsafat eksistentialisme. Semua mencoba untuk memecahkan persoalan manusia tapi sekarang kita tetap hidup dalam situasi kacau, tanpa tahu ke mana tujuan sejarah ini. Bagi zaman ini masalah intinya adalah mencari identitas manusia. Kita tetap berjuang untuk demokrasi, kebebasan, keadilan dan hak-hak manusia. Tidakkah ini tetap mengatakan kepada kita bahwa dosa dan keterhilangan adalah fakta yang tidak dapat disangkal? Tidak heran kalau Karl Barth berjuang melawan 2 profesor liberalnya, Adolf von Harnack dan William Hermann, yang mengajarkan persaudaraan umat manusia pada satu sisi, dan di sisi yang lain menyetujui invansi Jerman. Tidak heran bila pemimpin liberal Dr. Fosdick harus mengakui bahwa kaum liberal telah mengabaikan pengajaran atas dosa, yang begitu konkrit, dan kaum konservatif lebih mengerti akan hal ini. Tidak heran bila Niebuhr harus menekankan kembali kepada pengajaran yang alkitabiah untuk mengerti dosa seperti yang dinyatakan oleh perang dunia, dalam bukunya The Nature and Destiny of Man. Ini juga menjadi alasan yang sama mengapa Tillich menulis dalam buku hariannya, dalam khotbahnya – untuk kaum militer dalam perang dunia yang pertama, “Saya tidak melihat kehancuran dari gedung-gedung dihadapanku, tapi kehancuran dari kebudayaan.” Kebudayaan kita tampaknya mati, bahkan Rusia dan Tiongkok setelah kemenangan mereka atas sistem politik yang lama dan setelah menjalankan komunisme untuk beberapa dekade, para pemimpin mereka merasa pentingnya suatu pembaharuan. Mereka tetap menghadapi banyak kesulitan untuk berjuang melawan diri sendiri.
Konsep Yang Salah Mengenai Dosa
Meskipun manusia mencoba untuk lari dari fakta dosa, menawarkan dan menafsirkan ulang, manusia tetap tidak akan pernah dapat melarikan diri dari pernyataan Allah mengenai dosa dalam Alkitab. Alkitab mengajarkan dengan jelas bahwa dosa dimulai dari sejarah kejatuhan Adam, manusia pertama dan wakil dari umat manusia, dan kemudian memasuki dunia. Sebelum kita berpikir mengenai pengertian dosa, pertama mari kita melihat konsep yang keliru mengenai dosa.
Pertama, Alkitab tidak memberikan satu tempatpun bagi konsep pra-eksistansi kekal dari dosa. Dosa bukan suatu keberadaan kekal yang ada dengan sendirinya. Juga dosa maupun kejahatan bukan realitas yang berdiri sendiri. Demikian juga Iblis dan kuasa-kuasa kejahatan. Tidak ada apapun dan siapapun, hanya Allah sendiri yang ada dengan sendirinya dan merupakan realitas yang kekal. Hanya Allah yang tanpa awal dan akhir. Alkitab langsung menolak ontologi dualisme dalam agama.
Kedua, Alkitab tidak memberikan tempat bagi konsep bahwa dosa diciptakan atau sumber dari kejahatan. Kata “kejahatan” dalam Yesaya 45:7 (dalam terjemahan versi King James) harus dimengerti sebagai hukuman Allah dalam sejarah, sebagai manifestasi dari kebenaran dan pemerintahan-Nya kepada dunia yang berdosa, tapi bukan kejahatan secara ontologi ataupun moral.
Ketiga, Alkitab tidak memberikan tempat untuk Allah dipandang bertanggung jawab atas dosa. Mengenai hal ini, satu hal yang dapat kita lihat dari Alkitab adalah satu izin yang misterius untuk munculnya kejahatan sebagai akibat dari salah penggunaan akan kebebasan yang diciptakan di dalam makhluk-makhluk rohani, yang juga menjadi aspek dari gambar dan rupa Allah dan juga menjadi fondasi penting bagi moralitas, tetapi yang harus dipertanggungjawabkan pada keadilan dan penghakiman Allah.
Maka dosa muncul dari ciptaan sendiri. Sebagai ciptaan dari yang dicipta untuk melawan Pencipta mereka. Dalam hal ini, Yesus berkata, “Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta.” (Yohanes 8:44).
Apakah Dosa Itu
Sekarang kita memikirkan tentang dosa. Alkitab mengajarkan bahwa dosa lebih dari sekadar kegagalan etika. Untuk menyatakan dosa dengan sesuatu yang tidak tepat hanya mendangkalkan arti dosa itu.
Pertama, berbicara secara philologi, dosa berarti “tidak mencapai target”. Perjanjian Baru menggunakan kata hamartia untuk mengindikasikan bahwa manusia diciptakan dengan sebuah standar atau target sebagai tujuan dan arah hidup. Ini berarti kita harus bertanggung jawab kepada Allah. Ketika dosa datang, kita gagal untuk mencapai standar Allah. Setelah kejatuhan manusia, pandangan manusia mengenai target kehidupan menjadi kabur dan kehilangan kriteria arah hidup. Inilah alasan Allah untuk mengutus Anak-Nya untuk kembali menunjukkan standar itu dan menjadikan Dia sebagai kebenaran dan kesucian kita. Tujuan hidup manusia hanya dapat ditemukan kembali melalui contoh sempurna dari Kristus yang berinkarnasi.
Kedua, berbicara dari sudut posisi, dosa adalah satu perpindahan dari status yang mula-mula. Manusia diciptakan berbeda, dalam perbedaan posisi, dengan tujuan untuk menjadi saksi Allah, diciptakan antara Allah dan Iblis, baik dan jahat. Setelah kejatuhan setan, manusia diciptakan dalam kondisi netral dari kebaikan, yang dapat dikonfirmasikan melalui jalan ketaatan, diciptakan sedikit lebih rendah dari Allah tapi mempunyai dominasi atas alam, diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Ketaatan yang benar dari manusia di hadapan pemerintahan Allah adalah rahasia untuk mengatur alam, dan untuk mencapai tujuan benar dari kemuliaan natur pencipta dalam hidup manusia. Segala pencobaan datang kepada manusia selalu dalam usaha mencoba untuk membawa manusia jauh dari posisi rencana Allah yang mula-mula. Kemudian datang kekacauan. Hal yang sama terjadi juga kepada malaikat tertinggi ata Alkitab mengatakan, “Mereka tidak mempertahankan status mereka yang pertama” untuk menjelaskan kejatuhan mereka. Inilah satu konsep yang benar dalam mengerti mengenai dosa.
Ketiga, dosa adalah penyalahgunaan kebebasan. Penghormatan terbesar dan hak istimewa yang Allah berikan kepada manusia adalah karunia kebebasan. Kebebasan menjadi satu faktor yang tidak bisa ditawar-tawar lagi sebagi fondasi dari nilai moral. Hasil moral hanya dapat berakar dalam kerelaan, tidak lahir karena paksaan. Arti kebebasan mempunyai dua pilihan: hidup berpusatkan Allah atau hidup berpusatkan diri sendiri. Ketika manusia menaklukkan kebebasannya di bawah kebebasan Allah, itulah pengembalian kebebasan kepada pemilik kebebasan yang mula-mula. Jenis pengembalian ini mencari kesukacitaan dari kebebasan dalam batasan kebenaran dan kebaikan Allah. Sejak Allah adalah realita dari kebaikan itu sendiri, segala macam pemisahan dari-Nya akan menyebabkan keburukan, dan juga hidup berpusatkan diri sendiri jelas penyebab dosa. Terlalu berpusat pada diri sendiri akan menjadi awal ketidakbenaran. Kebebasan tanpa batas dari kebenaran Allah akan menjadi kebebasan yang salah. Bukanlah suatu kebebasan yang dimaksudkan Yesus ketika Ia berkata, “Tidak seorangpun dapat mengikuti Aku tanpa menyangkal dirinya sendiri.”
Keempat, dosa adalah kuasa yang menghancurkan. Dosa tidak hanya gagal dalam pengaturan tapi lebih dari itu adalah kuasa yang mengikat terus menerus yang tinggal dalam orang berdosa. Paulus menggunakan bentuk tunggal dan bentuk jamak dari dosa dalam kitab Roma. Bentuk jamak dari dosa mengindikasikan perbuatan-perbuatan salah, tapi bentuk tunggal dari dosa berarti kuasa yang mengarahkan segala perbuatan dosa. Paulus mempersonifikasikan dosa sebagai kuasa yang memerintah dan prinsip yang mengatur kehidupan orang berdosa. Ia juga merusak semua aspek kehidupan kepada satu tingkatan di mana tidak ada satu aspek kehidupan pun yang tidak kena distorsi atau polusi. Inilah yang ditekankan dan dijelaskan Reformator. Berjuang melawan pengertian tidak lengkap mengenai kuasa dosa dalam Scholastisisme abad pertengahan. Dosa tidak hanya mencemarkan aspek kehendak, tapi juga berpenetrasi pada aspek emosi dan rasio. Tujuan utama dari kuasa penghancur ini untuk menyebabkan manusia menghancurkan diri sendiri dan membunuh diri sendiri seperti yang dikatakan Kierkegard, bahwa manusia dilahirkan dalam dosa. Satu-satunya kuasa yang kita miliki adalah kuasa untuk membunuh kita sendiri.
Kelima, dosa adalah penolakan terhadap kehendak Allah yang kekal. Akibat utama dari dosa tidak hanya merusak manusia tapi juga melawan kehendak Allah yang kekal melalui manusia. Inilah hal yang paling serius yang berhubungan dengan kesejahteraan rohani semesta. Calvin mengatakan, “Tiada yang lebih besar daripada kehendak Allah kecuali Allah sendiri.” Ciptaan alam semesta, keselamatan umat manusia dan kebahagiaan kekal semua ada oleh kehendak Allah. Sejak dosa menolak terhadap kehendak Allah maka orang Kristen harus sadar pentingnya ketaatan yang setia kepada kehendak Allah. Seperti Kristus mengajarkan murid-murid-Nya untuk berdoa, “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga.” Alkitab juga mengajarkan kita dalam 1Yohanes 2:17, bahwa dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya.
Dosa dan Relasi Alam Semesta
Dosa tidak berhenti sebagai peristiwa saja tetapi terjadi perusakan yang lebih lanjut dalam orang berdosa dan menganggu seluruh susunan alam semesta. Dosa menghancurkan hubungan-hubungan baik secara pribadi maupun semesta, termasuk hubungan Allah dengan manusia, manusia dengan manusia. Dalam suatu pengertian yang lebih dalam, dosa juga menghancurkan hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu dosa membuat mustahilnya hidup harmonis, tapi yang paling dalam adalah rusaknya hubungan manusia dengan Allah. Dari hak mula-mula yang kita miliki, kita diciptakan lebih tinggi dari alam. Alam diciptakan untuk manusia. Berarti manusia menikmati, menyukai, mengatur, memelihara dan menafsirkan alam dalam menjalankan fungsi kenabiannya. Tapi dosa telah membalikkan manusia sebagai penghancur, musuh, bahkan penghancur alam. Menyelidiki alam dan menemukan kebenaran Allah yang tersembunyi di dalamnya adalah dasar ilmu pengetahuan, tetapi sejak timbulnya dosa, ilmu pengetahuan gagal untuk berfungsi sebagai alat untuk memuliakan Allah dan berbalik kepada kemungkinan digunakan sebagai alat setan untuk menghancurkan Allah dan manusia. Sebagai akibat rusaknya hubungan antar manusia, manusia kehilangan potensi untuk merefleksikan kasih dari Allah Tritunggal, yang menjadi model bagi komunitas manusia. Saling menghargai atau menghormati, saling percaya, saling melengkapi adalah ketidakmungkinan dalam masyarakat kita. Sebaliknya kita melihat pemutlakan dari setiap individu sendiri untuk menolak orang lain dengan hidup berpusat pada diri sendiri yang menyebabkan tekanan dan sakit hati yang tanpa akhir dalam komunitas kita bahkan dalam hubungan internasional. Sebagai akibat dari hancurnya hubungan antara manusia dan diri sendiri, manusia menjadi musuhnya sendiri. Ia kehilangan semua damai rohani, perlindungan kekal, dan keyakinan akan arti hidup. Dan selanjutnya keberadaan manusia jadi sebuah pulau yang terisolasi dalam alam semesta, keberadaan yang lain menjadi neraka yang menyiksa dan kenihilan tampaknya sebagai suatu yang ada, yang menelan keberadaan kita ke dalam kenihilan. Semua terefleksi dalam eksistensialis atheistik modern.
Pemutusan hubungan yang paling serius dalam hubungan antara manusia dengan Allah, menjadi penyebab putusnya hubungan-hubungan yang lain. Ketika manusia dipisahkan dari Allah menjadi tanda tidak lagi ada relasi lain yang dapat diperbaiki. Tertutup semua kemungkinan damai tiap pribadi dalam roh dan damai universal di bumi. Seluruh abad 20 adalah ladang pelaksana dari ideologi abad 19 dan kita lihat tidak ada pengharapan sejati bagi masa depan kita, juga sekarang dalam dekade akhir dari abad ini. Kita tetap menghadapi ketidaktahuan akan kemungkinan masadepan. Tidakkah kini waktu yang tepat dibandingkan waktu lain untuk berpikir ulang dengan mendalam dan dengan tenang mengadakan evaluasi ulang? Segala kelemahan dari teologi yang muncul dari humanisme anthroposentris.
Alkitab mengatakan Allah adalah kasih, Allah adalah Hidup, Allah adalah Terang. Ia juga Allah dari Kebenaran, Kebaikan dan Kesucian. Apa model lingkungan yang kita miliki jika kita terpisah dari Allah yang sedemikian seperti yang dinyatakan dalam Kristus? Hanya satu kemungkinan yang tersedia bagi kita yaitu kebencian, kematian, kegelapan, penipuan, ketidakadilan, dan kerusakan-kerusakan yang jelas kita lihat pada zaman ini. Tidakkah kita harus mengakui bahwa ada gap besar antara mandat kultural Allah kepada manusia dengan hasil kultural yang dicapai manusia? Itulah dosa.
Dosa dan Keterhilangan
Akibat dari keterpisahan dari Allah jelas memimpin keberadaan orang berdosa ke dalam status keterhilangan, terhilang dari dukungan dan kehadiran Allah.
Pertama, dosa menyebabkan manusia tidak memenuhi kemuliaan Allah. Konsep Agustinus bahwa dosa sebagai kekurangan, harus lebih dimengerti sebagai akibat dosa dalam manusia daripada penafsiran mengenai dosa itu sendiri. Ketika dosa muncul, kemuliaan Allah langsung meninggalkan manusia. Ini berarti kehilangan hak istimewa manusia sebagai wakil Allah untuk menjadi reflektor kemuliaan-Nya. Kehilangan kemuliaan Allah dari manusia, membuat manusia berada dalam suatu kondisi yang sangat menyedihkan. Manusia akan hidup tanpa hormat dan kemuliaan, pendidikan akan menolak kebenaran, hak-hak manusia tidak mempunyai kebaikan, pengetahuan tanpa hikmat, pernikahan tanpa kasih, dan ilmu pengetahuan tanpa hati nurani / kesadaran, kebebasan tanpa kontrol. Inilah yang terefleksi dalam kitab Yehezkiel bahwa kemuliaan Allah bergerak secara perlahan-lahan dan meninggalkan Bait Allah. Berarti penghukuman Allah sudah dekat, akhir dunia sudah berada di ambang pintu.
Sejak zaman Renaisance, pandangan dunia yang anthroposentris mengenai manusia alami telah mencoba untuk mengintepretasikan ‘Allah’ dan ‘jiwa’ melalui diri manusia sendiri yang berdosa sebagai titik pusat dari alam semesta. Dengan menjunjung tinggi rasio sebagai alat mutlak untuk untuk menemukan kebenaran dan menganggap natur sebagai tujuan akhir dari hasil yang dicapai untuk memecahkan semua problem manusia. Tapi sejarah menyatakan kesaksian yang jujur mengenai kegagalan manusia. Di bawah segala pencapaian hasil dangkal dalam ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, pendidikan, psikologi, filsafat dan bahkan agama, ada penyebab, yang nyata dan konsisten, dari ketidakseimbangan dan masalah-masalah.
Lingkungan kita padat dengan jiwa-jiwa yang kosong sementara berlimpah materi, penuh kekuatiran akan perang sementara pembicaraan mengenai perdamaian tidak berhenti, penuh dengan ketidakamanan sementara dihasilkan senjata-senjata yang tercanggih. Bertambahnya angka bunuh diri sementara tersedia alat kehidupan yang lebih baik; kehancuran keluarga meningkat sementara kebebasan sex dan percintaan makin meluas. Kita sedang bermimpi dari Renaisance sampai abad 20 mengenai otonomi manusia yang lepas dari campur tangan Allah. Khususnya sejak abad 19, begitu banyak ideologi yang muncul untuk menciptakan suatu optimisme modern yang naif, termasuk teologi liberal, evolusionisme dan komunisme. Semua ini gugur pada perang-perang yang menakutkan dalam abad 20. Demikian juga dengan revolusi internasional, politik, komunisme dan politik nasional, dan filsafat eksistentialisme. Semua mencoba untuk memecahkan persoalan manusia tapi sekarang kita tetap hidup dalam situasi kacau, tanpa tahu ke mana tujuan sejarah ini. Bagi zaman ini masalah intinya adalah mencari identitas manusia. Kita tetap berjuang untuk demokrasi, kebebasan, keadilan, dan hak-hak manusia. Tidakkah ini tetap mengatakan kepada kita bahwa dosa dan keterhilangan adalah fakta yang tidak dapat disangkal kaum Injili di seluruh dunia menegaskan ulang kesungguhan dari fakta dan efek dosa seperti yang diajarkan dalam Alkitab. Penegasan ini lebih dari sekadar kebutuhan mendesak dalam era post-liberal dan post-modern, secara teologis dan sosia-politis. Dengan pengertian mendalam mengenai kebutuhan orang-orang berdosa akan keselamatan, cinta kasih berapi-api bagi orang berdosa, mari kita dengan setia memberitakan Injil ke dalam dunia yang berdosa.
“Bertobatlah karena Kerajaan Allah sudah dekat.” “Lihat Anak Domba Allah yang mengangkat dosa seluruh dunia.” Kata-kata pendahuluan yang agung dari Injil tetap berlaku sampai akhir zaman. Mari kita berseru, “Bertobatlah hai umat, koyakkan hatimu, bukan jubahmu!” kepada para pemimpin dan umat di dunia! Tinggikan salib Kristus yang menjadi pengharapan satu-satunya dari umat manusia, agar Roh Kudus mengiluminasikan generasi kita untuk menerima Kristus. Biarlah seluruh makhluk dengan rendah hati mengaku dosa di hadapan Allah, untuk membuka kembali pintu surga dan memohon belas kasihan dan pengampunan dari-Nya, yang akan menyembuhkan dunia yang berdosa.
Yang layak adalah Anak Domba yang telah disembelih! Kemuliaan bagi-Nya untuk selama-lamanya!
Source: thisisreformedfaith.wordpress.com/
Kita semua sudah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Segala kecenderungan hati, pikiran dan perasaan kita selalu menentang Allah. Kita lebih suka melawan Allah daripada taat kepada perintah Allah. Dosa yang kita warisi dari Adam dan Hawa membuat status kita menjadi manusia berdosa di hadapan Allah dan secara natur, kecenderungan hati kita selalu ingin memuaskan kedagingan kita, nafsu kita, ego kita, dan dalam diri kita selalu muncul dorongan-dorongan dan kecederungan-kecenderungan untuk memberontak melawan perintah Allah, sebagaimana tertulis di dalam Alkitab:
Ketika dilihat TUHAN, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata, (Kejadian 6:5,TB-LAI)
Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku. (Mazmur 51:7,TB-LAI)
Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, (Roma 3:23,TB-LAI)
Dosa ada di dalam diri kita dan tidak bisa dianggap remeh. Allah yang Mahasuci dan manusia berdosa tidak dapat bersatu sebagaimana terang tidak bisa bersatu dengan gelap. Kita berada di dunia yang terbuang akibat dosa. Dosa membuat kita menjadi seteru Allah. Allah murka terhadap dosa-dosa manusia. Dosa selalu timbul dan selalu timbul dalam diri manusia, sehingga ilustrasi yang berkata bahwa diri manusia ibarat gelas dengan air kotor, kemudian untuk membuat gelas menjadi jernih caranya adalah dengan membuang air kotor tersebut yang mungkin tidak bisa semuanya dibuang tetapi sedikit demi sedikit air kotor dibuang lalu diisi air jernih, begitu terus menerus sampai pada akhirnya manusia bisa dengan usaha sendiri membuat dirinya kembali jernih (suci). Ini ilustrasi yang bukan kebenaran dari Allah. Alkitab bersaksi bahwa meskipun manusia berusaha terus menerus menjernihkan diri dari dosa, tetapi di dalam diri manusia selalu timbul dorongan-dorongan dan kecederungan-kecenderungan berbuat dosa entah dalam hati, pikiran, angan-angan, perkataan, perbuatan. Demikian pula dengan usaha manusia agar beroleh pengampunan dosa dengan berpuasa. Ini pun sia-sia. Dengan berpuasa manusia tetap berbuat dosa dan tidak dapat menghilangkan status sebagai manusia berdosa di hadapan Allah. Meskipun berpuasa tetapi pelanggaran lampu lalu lintas dengan menerobos lampu merah masih dilakukan, rambu dilarang berhenti masih juga berhenti bahkan parkir. Pertengkaran, iri dengki, tetap dilakukan walaupun berpuasa. Uang yang menjadi hak untuk fakir miskin bila mau jujur perbandingan yang diberikan ke fakir miskin sangat kecil bila dibanding dengan uang dipakai untuk diri sendiri dengan memborong makanan-makanan dan minuman-minuman di supermarket-supermarket begitu padat dengan antrian luar biasa justru pada saat bulan puasa.
Timbul pertanyaan, ada orang yang hidupnya begitu saleh, suka menolong sesamanya. Bila ada pengemis diberi makanan, tidak pernah berkata kasar pada orang, tidak pernah membunuh orang, tidak punya musuh, tidak pernah mencuri, jujur dalam hidupnya, bahkan tidak mau makan hewani seperti ayam, sapi, babi, sebab memakan hewani berarti sama dengan membunuh, yang dimakan hanya nasi, sayur, buah. Bukankah orang seperti ini adalah fakta bahwa ada orang baik di dunia ini, mengapa Alkitab mengatakan semua orang sudah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah?
Jawab: Definisi “orang baik” tidak bisa subyektif dari sudut pandang manusia, tetapi harus dari sudut pandang Allah. Alkitab mengajarkan bahwa semua manusia telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah, bahkan bayi yang lahir pun tidak suci, karena semua manusia sudah berdosa.
- Membenci: Membenci mungkin dianggap sebagai suatu hal yang wajar atau biasa saja. Namun Alkitab mengajarkan bahwa orang yang membenci memiliki dosa yang sama dengan membunuh.
Setiap orang yang membenci saudaranya, adalah seorang pembunuh manusia. Dan kamu tahu, bahwa tidak ada seorang pembunuh yang tetap memiliki hidup yang kekal di dalam dirinya. (1Yohanes 3:15, TB-LAI)
- Marah terhadap saudaranya:
21 Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. 22Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka (Injil Matius 5:21-22, TB-LAI)
- Memandang perempuan serta menginginkannya sudah berzinah di dalam hati.
27Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. 28Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. (Injil Matius 5:27-28, TB-LAI)
Di sini Yesus tidak memerintahkan agar wanita menutupi seluruh tubuhnya agar tidak menimbulkan nafsu birahi laki-laki yang memandangnya, tetapi justru Yesus Kristus berkata dengan sangat tegas ditujukan kepada laki-laki, bahwa memandang wanita dan menginginkan wanita itu, ia sudah berzinah dalam hatinya.
- Orang yang tahu bagaimana berbuat baik tapi tidak melakukan, sudah berdosa.
Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa. (Yakobus 4:17, TB-LAI)
- Hal-hal yang jahat timbul dari dalam diri manusia dan itu menajiskannya.
20Kata-Nya lagi: “Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, 21sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, 22perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. 23 Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.” (Injil Markus 7:20-23, TB-LAI)
- Berbuat hal-hal yang tidak dikehendaki, karena dosa diam di dalam manusia.
20 Jadi jika aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku. 21Demikianlah aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku. 22Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, 23tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku. 24Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini? 25Syukur kepada Allah! Oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. 26Jadi dengan akal budiku aku melayani hukum Allah, tetapi dengan tubuh insaniku aku melayani hukum dosa. (Roma 7:20, TB-LAI)
- Salah satu sikap manusia berdosa adalah munafik. Ahli-ahli Taurat, orang-orang Farisi, yang kelihatan di luar begitu suci, begitu dihormati, memiliki kedudukan dan terpandang. Namun Allah tidak melihat lahiriah tetapi hati (1Samuel 16:7, TB-LAI: ….Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.”). Yesus mengecam sikap munafik. Yesus tidak sungkan bahkan berulang-ulang mengatakan sikap orang-orang munafik seperti ini dengan berkata: Celakalah!. (Injil Matius pasal 23:13-33, TB-LAI) Munafik adalah dosa. Yesus tidak sungkan mengecam dengan keras sikap munafik seperti itu dan hukumannya adalah dicampakkan ke dalam neraka.
Alkitab mengajarkan bahwa semua orang, siapa pun orangnya, apakah raja, apakah ratu, apakah presiden, apakah perdana menteri, apakah profesor, apakah artis, apakah guru agama, apakah tokoh agamawan, bahkan para nabi, para rasul, tidak ada orang suci di dunia ini; semua telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Para nabi dan para rasul yang kita pandang ‘suci’ pun adalah manusia biasa, yang juga ciptaan Allah, mereka semua pun berdosa di hadapan Allah dan kehilangan kemuliaan Allah. Dosa membuat manusia yang diciptakan menurut peta dan teladan Allah menjadi rusak, manusia kehilangan kemuliaan Allah dan hati manusia cenderung untuk melawan kehendak Allah. Sejak manusia pertama jatuh ke dalam dosa, manusia telah menjadi seteru Allah. Dunia kita ini adalah dunia yang terhilang dari kemuliaan Allah, kita hidup di dalam kegelapan akibat dosa! Manusia sudah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah, sebab itu tidak mungkin manusia bisa menghampiri Allah, entah itu melalui agama, berbuat amal dan kesalehan sebanyak-banyaknya, bersedekah sebanyak-banyaknya, berpuasa, mengasingkan diri untuk bertapa mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, maka semua usaha manusia pasti gagal dan sia-sia, sebab ada jurang pemisah antara manusia berdosa dengan Allah Yang Mahasuci. Allah Yang Mahasuci tak mungkin didekati oleh manusia berdosa dan manusia berdosa yang berhadapan dengan Allah Yang Mahasuci pasti binasa, sebagaimana terang dan gelap tidak dapat disatukan. Ada orang yang melatih diri untuk menjauhi segala keinginan dunia, mengasingkan diri bahkan ada yang menyiksa diri agar bisa menyucikan diri dengan jalan yang dianggap sebagai jalan menuju keselamatan, tetapi Firman Allah yang tertulis di dalam Alkitab menyatakan bahwa semua manusia telah berbuat dosa, sekalian manusia telah bejat, semua telah menyimpang dan kehilangan kemuliaan Allah. Manusia zaman sekarang ini di luar kelihatan rajin menjalankan keagamaan tetapi hanya menjadi aktivitas rutinitas saja, sudah tidak disertai rasa takut dan hormat kepada Allah. Tokoh agama yang seharusnya dijadikan panutan dan soko guru, namun telah mencabuli gadis didiknya; tokoh agama yang seharusnya memberi teladan yang baik, namun mengambil uang jemaatnya atas nama Tuhan untuk memperkaya dirinya sendiri dan keluarganya dengan berbagai rumah mewah dan kolektor mobil milyaran rupiah. Kisah pembunuhan sadis seorang wanita sebagai korban setelah dibunuh lalu diperkosa beramai-ramai di sebuah angkot lalu mayatnya dibuang begitu saja di pinggir jalan; ada pula pembunuhan setelah dibunuh lalu mayatnya dimutilasi lalu dimasukkan ke dalam tabung gas; ada yang mayatnya dimasukkan ke ember besar lalu dibuang ke sungai; ada yang mayatnya dipendam di halaman rumah lalu disemen dan diatasnya diberi bunga. Luar biasa mengerikan kuasa dosa yang membelenggu kehidupan manusia. Banyak juga yang berbuat dosa tetapi tidak pernah bertobat dan mengulang terus-menerus berbuat dosa. Dosa sudah membelenggu kehidupan manusia. Dosa bukan hanya sekadar moral manusia yang kurang baik, bukan hanya sekadar adanya suatu perasaan bersalah yang tak perlu dirisaukan, tetapi Alkitab mengajarkan bahwa dosa ada di dalam diri manusia sehingga membuat manusia melakukan hal-hal yang jahat di mata Allah.
Timbul pertanyaan, bukankah Allah itu Mahapengampun? Cukup manusia meminta ampun, bertaubat dengan sungguh-sungguh di hadapan Allah maka Allah pasti mengampuni dosa manusia, tanpa perlu Yesus Kristus. Cukup manusia datang langsung kepada Allah dan minta ampun kepada-Nya, niscaya Allah pasti mengampuni.
Jawab: Benar, bahwa Allah itu Mahapengampun, tapi jangan lupa bahwa Allah juga Mahaadil. Bila Allah mengampuni dosa manusia tanpa kematian Yesus Kristus yang mengalirkan darah di kayu salib, Anak-Nya yang tunggal, maka Allah ingkar terhadap firman yang difirmankan-Nya sendiri:
Kejadian 2:17 tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.” ,
Roma 6:23a: Sebab upah dosa ialah maut.
Manusia berdosa pasti binasa dan mengalami maut sebagai upah dosa. Manusia pertama akhirnya melanggar perintah Allah dan akhirnya manusia pertama memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat, maka ganjarannya adalah mati. Dengan status manusia berdosa, bila Allah cukup hanya mengampuni, tanpa melalui kematian Yesus Kristus yang mengalirkan darah di kayu salib sebagai kurban penebus dosa, maka firman-Nya adalah dusta, sebab dosa tidak membuat manusia mengalami kematian rohani (maut) sebagai upah atas dosa-dosanya. Selain itu akan bertentangan dengan sifat-Nya sendiri yang Mahaadil bila membiarkan begitu saja pelanggaran yang melawan kehendak-Nya. Di 1Yohanes 3:4 tertulis: Setiap orang yang berbuat dosa, melanggar juga hukum Allah, sebab dosa ialah pelanggaran hukum Allah.” Bila pelanggaran hukum Allah kemudian Allah begitu saja memberi pengampunan maka akan bertentangan dengan sifat-Nya yang Mahaadil. Kita semua harus binasa karena dosa-dosa kita. Kita sudah berhutang kepada Allah yang tidak mungkin sanggup kita bayar. Allah menuntut kita hidup kudus dan taat kepada perintah-Nya, tetapi kita tidak taat dan selalu melawan Allah, karena dosa berkuasa dalam diri kita semua.
Di Perjanjian Lama, TUHAN memerintahkan kepada bangsa Israel agar orang yang berbuat dosa untuk pendamaian dosa harus mempersembahkan lembu jantan muda yang tak bercela:
Imamat 4:
1TUHAN berfirman kepada Musa: 2“Katakanlah kepada orang Israel:Apabila seseorang tidak dengan sengaja berbuat dosa dalam sesuatu hal yang dilarang TUHAN dan ia memang melakukan salah satu dari padanya, 3 maka jikalau yang berbuat dosa itu imam yang diurapi, sehingga bangsanya turut bersalah, haruslah ia mempersembahkan kepada TUHAN karena dosa yang telah diperbuatnya itu, seekor lembu jantan muda yang tidak bercela sebagai korban penghapus dosa. 4Ia harus membawa lembu itu ke pintu Kemah Pertemuan, ke hadapan TUHAN, lalu ia harus meletakkan tangannya ke atas kepala lembu itu, dan menyembelih lembu itu di hadapan TUHAN.
…
13Jikalau yang berbuat dosa dengan tak sengaja itu segenap umat Israel, dan jemaah tidak menyadarinya, sehingga mereka melakukan salah satu hal yang dilarang TUHAN, dan mereka bersalah, 14maka apabila dosa yang diperbuat mereka itu ketahuan, haruslah jemaah itu mempersembahkan seekor lembu jantan yang muda sebagai korban penghapus dosa. Lembu itu harus dibawa mereka ke depan Kemah Pertemuan. 15 Lalu para tua-tua umat itu harus meletakkan tangan mereka di atas kepala lembu jantan itu di hadapan TUHAN, dan lembu itu harus disembelih di hadapan TUHAN.
TUHAN memerintahkan kepada Musa, bahwa pengampunan dosa memerlukan kurban yang tak bercela, memerlukan darah hewan yang dicurahkan sebagai tanda pengampunan dosa. Jadi, ajaran mengajarkan bahwa pengampunan dosa tanpa perlu ada darah tercurah maka itu adalah ajaran yang di luar kebenaran Allah. Allah adalah Mahapengampun, tetapi dalam mengampuni tidak cukup manusia bertobat begitu saja datang memohon ampun kepada-Nya, ada kurban yang diperlukan sebagai syarat pengampunan dosa. Dan perintah Allah kepada Musa ini adalah kiasan / gambaran tentang Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah kurban yang sempurna yang menyenangkan hati Bapa, darah Yesus Kristus di atas salib tercurah untuk mengampuni dosa manusia dan memperdamaikan manusia berdosa dengan Bapa.
Keselamatan Datang Dari Allah, Allah Berinisiatif Menyelamatkan Manusia Berdosa Dalam Yesus Kristus.
Kuasa dosa telah membelenggu manusia, tidak mungkin manusia bisa melepaskan diri dari kuasa dosa. Syukur kepada Allah. Allah tidak membiarkan manusia binasa di dalam dosa. Allah tidak menghendaki manusia binasa dalam dosa sebab Allah mengasihi kita, manusia berdosa. Allah sendiri yang berinisiatif menyelamatkan manusia, sebab tidak mungkin manusia dapat menyelamatkan dirinya sendiri dari belenggu dosa karena semua manusia sudah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah; juga tidak mungkin malaikat yang menyelamatkan kita sebab malaikat pun adalah ciptaan Allah sama seperti manusia dan malaikat tidak berhak mewakili manusia dihadapan Allah untuk membayar lunas hutang dosa di hadapan Allah. Sebagaimana dulu bangsa Israel ditindas dengan begitu kejam di Mesir, kemudian Allah mendengar jeritan mereka sehingga Allah sendiri yang berinisiatif menyelamatkan umat-Nya dari perbudakan Mesir. Bila pada zaman dulu Allah mengutus Musa untuk menyelamatkan bangsa Israel, maka gambaran tersebut digenapi oleh Yesus Kristus, di mana Allah sendiri yang berinisiatif menyelamatkan manusia dari belenggu bukan hanya dalam arti perbudakan Mesir tetapi arti sesungguhnya adalah menyelamatkan manusia dari perbudakan belenggu dosa. Oleh sebab itu keselamatan yang sejati adalah datang dari Allah sendiri, maka Yesus Kristus, Sang Firman Allah berinkarnasi menjadi manusia sebagai pengantara antara manusia dan Bapa.
Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang.” (Injil Lukas 19:10 , TB-LAI )
Yesus Kristus, sehakekat dengan Bapa, merelakan diri-Nya dengan merendahkan diri-Nya untuk menjadi manusia, guna taat kepada perintah Bapa-Nya untuk menanggung dosa manusia dan menerima upah dosa, yaitu maut. Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah. (2Korintus 5:21, TB-LAI). Di atas kayu salib, kutuk dosa ditimpakan kepada Yesus Kristus. Murka Allah atas dosa manusia ditimpakan kepada Yesus. Yesus dan Bapa adalah satu, sehakekat, saling mengasihi – Bapa mengasihi Anak dan Anak mengasihi Bapa, namun ada suatu waktu yaitu saat Yesus mati di kayu salib, Yesus harus terpisah dari Bapa. Bapa meninggalkan Yesus. Ini adalah penderitaan Kristus yang paling berat, terpisah dari Bapa, karena Yesus sedang mewakili manusia berdosa yang terpisah dari Bapa. Bapa meninggalkan Yesus dan ini dijadikan bahan ejekan, dijadikan cemooh dan hinaan bahwa ini bukti Yesus tidak disertai Allah. Kalau Yesus Allah, mengapa ditinggalkan oleh Bapa-Nya? Ini pandangan manusia berdosa. Bapa meninggalkan Yesus karena dosa-dosamu dan dosa-dosaku. Di atas kayu salib, Yesus sedang menerima kutuk dosa. Dia begitu sengsara di kayu salib untuk menerima murka Allah atas diri-Nya demi mengganti kita, manusia durhaka. Kita ini yang selayaknya di salib, termasuk para pengejek seharusnya dihukum karena dosa-dosa kita. Yesus rela dan setia taat kepada kehendak Bapa-Nya untuk menerima kutuk dosa. Nabi Yesaya telah menubuatkan tentang hal ini dan nubuat ini digenapi oleh Yesus Kristus:
3 Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan. 4 Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. 5 Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh. 6 Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri, tetapi TUHAN telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian. 7 Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya. 8Sesudah penahanan dan penghukuman ia terambil, dan tentang nasibnya siapakah yang memikirkannya? Sungguh, ia terputus dari negeri orang-orang hidup, dan karena pemberontakan umat-Ku ia kena tulah. 9 Orang menempatkan kuburnya di antara orang-orang fasik, dan dalam matinya ia ada di antara penjahat-penjahat, sekalipun ia tidak berbuat kekerasan dan tipu tidak ada dalam mulutnya. (Yesaya 53:3-9, TB-LAI)
Nubuat Nabi Yesaya ini berbicara tentang Yesus Kristus. Yesus Kristus disalib karena dosa-dosa kita. Kita seharusnya yang menanggung kesengasaraan atas dosa-dosa kita, kita seharusnya yang diremukkan oleh kejahatan kita, tetapi Bapa begitu mengasihi kita sehingga Bapa mengaruniakan Putra-Nya yang tunggal, yang sehakekat dengan Bapa, untuk diremukkan akibat dosa-dosa kita. Nubuat ini tidak berbicara tentang nabi lain. Tidak ada nabi, yang seorang manusia berdosa sama seperti kita yang mampu menanggung dosa umat manusia di sepanjang abad. Dialah Yesus Kristus, seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian, Dia membiarkan dirinya ditindas karena dosa-dosa kita. Bapa berkehendak untuk meremukkan Putra-Nya yang sangat dikasihi-Nya dengan kesakitan sebagai kurban penebus salah, selanjutnya melalui kebangkitan Yesus Kristus membuktikan bahwa Ia Hidup dan menang atas kuasa maut. Ini adalah bukti kasih Allah kepada manusia berdosa, agar manusia memperoleh perdamaian kepada Bapa. Kasih yang sejati adalah kasih yang rela berkorban, tidak hanya diucapkan di bibir saja. Allah Mahakasih, bila dalam kasih-Nya tanpa ada pengorbanan, maka kasih Allah belum sempurna. Allah sejati tidak menuntut agar manusia mengasihi-Nya, tetapi Allah sejati berinisiatif mengasihi manusia berdosa dan salib Yesus Kristus adalah bukti kasih Allah, bukti bahwa Allah bukan saja mengasihi dunia yang berdosa, tetapi rela berkorban menderita sengsara bahkan mengorbankan nyawa-Nya yang dibuktikan melalui kematian-Nya di atas kayu salib. Inilah cinta kasih sejati, yang rela mengobarkan nyawanya bagi tebusan banyak orang. Mesias yang sejati adalah Mesias yang harus menderita (bdk. Injil Lukas 24:26, TB-LAI: Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?“).
Bekal apa yang kita bawa saat kematian tiba? Harta berupa emas, permata, tanah, apartemen, villa, segudang rumah, mobil-mobil supercar turbo engine 6.000 cc, motor superbike di atas 1.000 cc, uang ratusan milyar bahkan ratusan triliun rupiah; semua materi tersebut tidak dibawa mati. Lalu apa yang kita bawa? Sebagian dari kita akan berkata bahwa kita membawa bekal amal dan perbuatan baik. Tidak sama sekali! Semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah, kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri (Yesaya 53:6, TB-LAI). Kita mati membawa dosa-dosa kita yang begitu banyak, yang kita buat setiap hari selama bertahun-tahun hidup di dunia ini untuk dipertanggungjawabkan dihadapan Allah. Bila dibandingkan dengan amal dan perbuatan baik, dosa-dosa yang diperbuat setiap hari telah menutupi amal dan perbuatan baik kita. Andil manusia berdosa termasuk amal dan perbuatan baik agar dapat memperoleh keselamatan adalah 0 (nol) di mata Allah, karena manusia adalah seteru Allah. Allah adalah Mahapengampun atas dosa-dosa kita adalah benar, namun Allah juga adalah Allah Mahakudus. Manusia berdosa yang menjadi seteru Allah, tidak mungkin bisa menghampiri Allah Mahakudus. Usaha manusia menuju kepada Allah pasti gagal, ada jurang pemisah antara manusia berdosa dengan Allah yang Mahakudus. Maka keselamatan yang sejati datangnya harus dari Allah sendiri, sebab tak mungkin manusia menyelamatkan dirinya sendiri. Yesus Kristus adalah pendamai manusia berdosa dengan Bapa:
Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya! (Roma 5:10 , TB-LAI)
Beriman kepada Yesus tidak cukup mengaku bahwa Yesus adalah salah satu nabi dari sekian banyak nabi atau orang yang memiliki moral yang begitu mulia. Beriman kepada Yesus Kristus, adalah beriman bahwa Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah, Yesus adalah terang dunia dan barangsiapa yang percaya kepada-Nya akan memiliki terang hidup. Yesuslah jalan, Yesuslah kebenaran dan Yesuslah hidup. Di luar Yesus, tidak ada jalan keselamatan, di luar Yesus tidak ada kebenaran, di luar Yesus tidak ada hidup.
15supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.
16 Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. 17 Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia. 18 Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah. 19 Dan inilah hukuman itu: Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat. 20 Sebab barangsiapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak nampak; 21 tetapi barangsiapa melakukan yang benar, ia datang kepada terang, supaya menjadi nyata, bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan dalam Allah.” (Injil Yohanes 3:15-21, TB-LAI)
Barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak taat kepada Anak, ia tidak akan melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di atasnya.” (Injil Yohanes 3:36, TB-LAI)
Kata Yesus kepadanya: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku. (Injil Yohanes 14:6, TB-LAI)
11 Dan inilah kesaksian itu: Allah telah mengaruniakan hidup yang kekal kepada kita dan hidup itu ada di dalam Anak-Nya. 12Barangsiapa memiliki Anak, ia memiliki hidup; barangsiapa tidak memiliki Anak, ia tidak memiliki hidup. (1Yohanes 5:11-12, TB-LAI)
Tanpa Yesus Kristus maka murka Allah tetap ada di kita dan kematian kekal adalah upah dari dosa-dosa kita di hadapan Allah. Tanpa darah tercurah sebagaimana TUHAN telah memerintahkan bangsa Israel untuk membawa kurban melalui darah hewan yang tercurah sebagai pengampunan dosa, maka Yesus Kristus adalah penggenapan dari hukum Taurat. Melalui darah Yesus Kristus yang tercurah di atas kayu salib, maka setiap orang yang beriman kepada Yesus Kristus maka Bapa berkenan untuk mengampuni dosa-dosa dan memberikan hidup yang kekal. Marilah kita simak ayat di Injil Yohanes 10:11-15 berikut ini:
11 Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya; 12sedangkan seorang upahan yang bukan gembala, dan yang bukan pemilik domba-domba itu sendiri, ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu. 13Ia lari karena ia seorang upahan dan tidak memperhatikan domba-domba itu. 14Akulah gembala yangbaik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku 15samaseperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa, dan Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku
Mari datanglah kepada Yesus Kristus, akuilah segala dosa dan undang Yesus masuk untuk mengubah kehidupan lama Saudara menuju kehidupan baru di dalam pimpinan Allah, sehingga hidup yang sementara di dunia ini menjadi bermakna karena Yesus Kristus memperbaruhi kehidupan Saudara menjadi kehidupan yang berkenan dan menyenangkan hati Allah.
Source : thisisreformedfaith.wordpress.com/
KEMBALI KE DAFTAR ISI PENCET