Latest News

Tuesday 7 May 2019

38-Ringkasan PL dan PB


  1. Ringkasan Garis Besar Perjanjian Lama

    1. PENTATEUKH. KELIMA KITAB

      1. Kejadian.
        Kitab tentang Asal Mula.
        Asal mula Alam semesta, umat manusia, dan lain-lain. Sebagian besar merupakan catatan tentang sejarah mula-mula dari Keluarga yang Dipilih.


      1. Yosua.
        Sebuah catatan tentang penaklukan Kanaan dibawah pimpinan Yosua, dan pembagian tanah kepada keduabelas suku.


      1. Ayub.
        Masalah penderitaan, menunjukkan kejahatan Setan, kesabaran Ayub, kesia-siaan filsafat manusia, hikmat ilahi dan pada akhirnya pembebasan si penderita.


      1. Yesaya.
        Nabi pembebasan yang besar. Kitab ini kaya dengan nubuat-nubuat Kemesiasan, bercampur dengan kesusahan yang diucapkan atas bangsa yang berdosa.


      1. Hosea.
        Sejaman dengan Yesaya dan Mikha. Pikiran Utama - Kemurtadan Israel digolongkan sebagai perzinahan rohani. Kitab ini penuh dengan goresan metafora/kiasan yang melukiskan dosa- dosa bangsa Israel.


    1. BIOGRAFI. EMPAT KITAB.
      1. Matius.
        Pengarangnya, salah satu dari keduabelas rasul. Berbentuk Narasi yang khususnya disesuaikan dengan orang Yahudi, memperlihatkan bahwa Yesus adalah Mesias yang dirajakan dalam nubuat Yahudi.

      1. Roma.
        Ditujukan kepada Orang-orang Kristen di Roma. Bagian (1) Pasal 1-11. Eksposisi yang mengagumkan tentang perlunya, dan sifat dasar Rencana Keselamatan.
        Bagian (2) Pasal 12-16. Sebagian besar merupakan nasehat/dorongan yang berhubungan dengan tanggung jawab rohani, sosial dan sebagai warganegara.


      1. Yakobus.
        Penulisnya kemungkinan Yakobus, saudaranya Tuhan Yesus. Ditujukan kepada Bangsa Yahudi yang bertobat dan yang terserak di perantauan. Tema utama - Tindakan praktis dari Agama, yang ditunjukkan dalam pekerjaan baik, dibandingkan/dikontraskan dengan pengakuan iman.

    2. Wahyu.
      Penulis, rasul Yohanes.
      Topik utama - Sebagian besar merupakan satu rangkaian penglihatan tentang masa yang akan datang/apokalips yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa dalam sejarah keagamaan. Konflik moral yang besar digambarkan, antara kekuatan ilahi dan kekuatan setan, diakhiri dengan kemenangan Anak Domba.
Artikel ini diambil dari : 
D D., Frank Charles Thompson, Ph.D. 1934. The New Chain Reference Bible. B. B. Kirkbride Bible Co., Inc. CD SABDA-Topik 04222





Persamaan Antara Perjanjian Lama Dan Perjanjian Baru – John Calvin


        Kovenan di dalam Perjanjian Lama sesungguhnya sama dengan yang ada di dalam Perjanjian Baru. Karena sebagian orang memperdebatkan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, maka untuk mengatasi semua kesulitan yang dapat muncul kita akan memeriksa apa yang menjadi persamaan dan perbedaan antara keduanya, perjanjian apa yang dilakukan Allah dengan umat Israel di masa dulu dan dengan kita sejak kedatangan Yesus.
        Kita dapat menyimpulkan bahwa perjanjian yang dilakukan dengan para bapa leluhur adalah sama dengan perjanjian yang dilakukan dengan kita. Hanya cara penyelenggaraannya saja yang berbeda. Untuk menegaskan mengenai persamaannya, marilah kita menyebutkan tiga prinsip ini. Pertama, kekayaan dan berkat jasmaniah bukanlah tujuan akhir mereka, sebaliknya mereka didorong untuk mengarahkan pengharapan mereka pada kekekalan. Kedua, perjanjian yang melaluinya mereka dipersatukan dengan Tuhan dibuat bukan berdasarkan pada jasa mereka, tetapi atas kemurahan Allah. Ketiga, bahwa mereka memiliki dan mengenal Kristus sebagai perantara, yang melaluinya mereka dipersatukan dengan Allah dan menjadi pewaris janji.
        Berkenaan dengan prinsip pertama, kita melihat bahwa ada begitu banyak ayat dalam Alkitab yang mengajarkan bahwa Injil dijanjikan sebelumnya dengan perantaraan nabi-nabinya dalam kitab-kitab suci tentang Anak-Nya (Rm. 1:1-3), dan bahwa ini “disaksikan dalam Kitab Taurat dan Kitab-kitab para nabi” (Rm. 3:21). Demikian juga sekarang, orang tidak dibiarkan berpuas diri hanya dengan kehidupan masa kini, tetapi mengangkat mereka kepada pengharapan kekal (Ef. 1:13-14; Kol. 1:4-5; 2Tes. 2:14). Sebagaimana Injil bersifat rohani dan memimpin orang kepada hidup yang kekal, demikian juga orang Yahudi dalam Perjanjian Lama tidak mengabaikan jiwa mereka. Sebagaimana Perjanjian Lama memberikan janji Injili maka jelas ia berkenan dengan kehidupan yang akan datang.
        Prinsip kedua dan ketiga yang menegaskan bahwa perjanjian didasarkan pada kemurahan Allah dan diteguhkan melalui perantaraan Kristus, kita melihat persamaannya dengan pemberitaan Injil yang mewartakan bahwa orang berdosa dibenarkan oleh Allah terlepas dari jasa perbuatan mereka. Orang-orang Yahudi tidak bisa dipisahkan dari Kristus yang melalui-Nya keselamatan mereka dinyatakan. Siapa yang dapat mengatakan bahwa mereka hanya orang-orang asing yang tidak memiliki keselamatan yang cuma-cuma. Kristus berkata, Abraham bersukacita bahwa ia akan melihat hari-Ku dan ia telah melihatnya dan ia bersukacita (Yoh. 8:56) Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-selamanya (Ibr. 13:8) adalah terus menerus dinyatakan kepada umat-Nya yang setia. Bahkan Maria dan Zakharia menyatakan bahwa keselamatan yang dinyatakan dalam Kristus adalah suatu perwujudan dari janji yang dinyatakan dalam Kristus.
        Lebih dari itu, para rasul menyamakan umat Israel dengan kita bukan hanya dalam perjanjian tetapi juga dalam sakramen, ketika mereka berkata bahwa mereka dibaptis dalam awan, makan makanan rohani yang sama, dan minum-minuman rohani yang sama (1Kor. 10:1-4).
        Argumen mengenai pengharapan hidup kekal, menunjukkan bahwa para bapa leluhur dalam Perjanjian Lama menantikan penggenapan janji kehidupan yang akan datang. Para bapa leluhur memiliki perjanjian yang rohani; yang dengan itu mereka juga memiliki hidup yang kekal. Petrus menegaskan bahwa firman Allah diberikan kepada mereka adalah benih yang tidak fana, yang hidup dan yang kekal (1Pet. 1:23,25), perkataan ini diambil dari Yesaya 40:8. Ketika Allah menyatukan orang Yahudi dengan diri-Nya dalam ikatan yang suci ini, tidak diragukan bahwa Ia juga memberikan kepada mereka pengharapan hidup yang kekal.
        Dalam Perjanjian lama, Allah memberikan kepada umat-Nya persekutuan dengan diri-Nya dan ini juga berarti hidup yang kekal. Sifat rohani dari perjanjian dengan orang-orang suci Perjanjian Lama memberikan kepada mereka janji hidup kekal, hal ini terlihat dalam isi dari perjanjian itu sendiri, “Aku akan menjadi Allahmu dan kamu akan menjadi umat-Ku” (Im. 26:12). Ungkapan itu mengandung hidup, keselamatan dan kebahagiaan surgawi. Ketika Daud mengumumkan bahwa betapa bahagianya bangsa yang Allahnya ialah Tuhan (Mz. 114:15; 33:12), ia tidak menganggap berkat duniawi itu dapat disejajarkan dengan berkat surgawi yang hanya diberikan Allah kepada umat-Nya. Allahlah yang melepaskan orang dari maut dan menyatakan kemurahan-Nya yang kekal kepada mereka yang Ia pilih menjadi umat-Nya. Keselamatan yang Allah janjikan itu akan berlangsung selamanya, di mana orang kudus mendapatkan penghiburan bahwa Allah tidak akan meninggalkan mereka sendirian.
        Demikianlah keberkatan umat Allah di masa Perjanjian Lama tidak sekadar berkat jasmaniah belaka. Orang-orang kudus dalam Perjanjian Lama terus diingatkan bahwa mereka tidak akan memiliki kebahagiaan sepenuhnya dalam kehidupan masa kini. Abraham, bapa orang beriman, dipisahkan dari keluarga dan sahabat-sahabatnya (Kej. 12:1) ketika Allah memanggil dia. Segera setelah ia dipimpin ke negeri yang ditunjukkan oleh Tuhan ia menemui bencana kelaparan. Dan ini terjadi kembali. Abimelekh, Hagar, Ismael membuatnya merasa susah hati. Singkat kata, dalam seluruh hidupnya, Abraham mengalami berbagai ujian hidup. Yakub juga menghadapi berbagai macam kesulitan hidup, seperti ketakutan terhadap Esau saudaranya, harus melarikan diri, menghadapi kelicikan pamannya, disiksa oleh ketakutan ketika akan bertemu dengan saudaranya, berduka karena berita bohong kematian Yusuf, kekerasan dan kelakuan buruk dari anaknya. Yakub mengatakan kepada Firaun bahwa hidupnya penuh dengan kesulitan.
        Karena itu, para penulis Perjanjian Baru memberitahu kita bahwa orang-orang suci Perjanjian Lama adalah orang-orang yang melihat kehidupan mereka sebagai kehidupan musafir, pendatang, yang tidak memiliki hak atas negeri yang mereka diami. Karena itu, mereka adalah orang-orang yang beriman kepada pemenuhan janji Allah yang akan memberikan suatu negeri kekal kepada mereka. Orang-orang kudus Perjanjian Lama memandang kepada berkat yang lebih besar, yaitu keselamatan. Hidup mereka tidak akan berhenti hanya di kubur, tetapi melihat kematian berarti suatu hidup yang baru. Kematian bukan akhir, maka mereka berkata, “berharga di mata Tuhan kematian semua orang yang dikasihi-Nya” (Mz. 116:15). Bagi orang kudus Perjanjian Lama, kematian bukan akhir, tetapi awal menuju kehidupan kekal yang lain.
        Ketika kita sampai pada para nabi, maka kita akan mendapati penyataan yang lebih penuh mengenai hidup kekal maupun kerajaan Kristus. Daud menyaksikan, “Sebab aku menumpang pada-Mu, aku pendatang seperti semua nenek moyangku” (Mz. 39:13). “Sungguh hanya beberapa telempap saja Kautentukan umurku; bagi-Mu hidupku seperti sesuatu yang hampa. Ya, setiap manusia hanyalah kesia-siaan! Ia hanyalah bayangan yang berlalu! Ia hanya mempeributkan yang sia-sia dan menimbun, tetapi tidak tahu siapa yang meraupnya nanti. Dan sekarang, apakah yang kaunanti-nantikan, ya Tuhan? Kepada-Mulah aku berharap” (Mz. 39:5-8). Yesaya mengatakan hal yang sama, “langit lenyap seperti asap, bumi memburuk seperti pakaian yang sudah usang dan penduduknya akan mati seperti nyamuk; tetapi kelepasan yang Kauberikan akan tetap untuk selama-lamanya, dan keselamatan yang daripada-Ku tidak akan berakhir” (Yes. 51:6). Banyak ayat lain dalam Alkitab yang melihat kekayaan atau kemakmuran orang percaya bukanlah sesuatu yang terjadi pada masa sekarang, tetapi baru akan dimiliki pada kehidupan yang akan datang (73:2, 16-17).
        Orang percaya dalam Perjanjian Lama dengan iman memandang pada penghakiman akhir. Bersandar pada keyakinan ini, mereka dikuatkan untuk menghadapi apa pun yang terjadi atas diri mereka, mereka memandang pada suatu saat ketika janji Allah digenapi, “Tetepi aku, dalam kebenaran akan kupandang wajah-Mu, dan pada waktu bangun aku akan menjadi puas dengan rupa-Mu” (Mz. 17:15, 52:10; 55:23-24). Daud memandang pada hari kebangkitan ketika membandingkan nasib orang benar dan orang fasik (dalam Mz. 49:6-16). Perenungan itu memberikan kepada orang percaya penghiburan dalam menghadapi penderitaan mereka. “Sebab sesaat saja Ia murka, tetapi seumur hidup Ia murah hati; sepanjang malam ada tangisan, menjelang pagi terdengar sorak-sorai” (Mz. 30:6). Ketika mereka memandang ke surga, mereka memahami bahwa kesulitan yang Tuhan izinkan terjadi atas diri mereka hanya “sesaat lamanya” sedangkan kasih sayang-Nya yang Ia karuniakan kepada mereka adalah “selama-lamanya” (Yes. 54:7-8).
        Tetapi di atas semua itu, kesaksian Ayub mengenai kehidupan kekal secara luar biasa melampaui semua yang lain, “Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu. Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingku pun aku akan melihat Allah” (Ayb. 19:25-26). Jelas, melihat Allah berarti hadir bersama Dia. Sungguh kematian tidak dapat meniadakan pengharapannya, sebagaimana yang ia katakan, “Sekalipun Dia membinasakan aku, aku akan tetap menaruh percayaku kepada-Nya” (Ayb. 13:15, NIV, NKJV).
        Kesaksian para nabi mengenai keabadian dalam Perjanjian Lama demikian banyak dan semakin hari semakin jelas, dan hingga pada penyataan Kristus semua kekaburan itu menjadi sirna. Satu contoh yang jelas diberikan oleh Yehezkiel mengenai penglihatan mengenai tulang belulang kering di lembang yang oleh kuasa Allah dihidupkan kembali. Semua ini menunjukkan kuasa Allah lebih besar daripada sekadar memulihkan keadaan mereka yang berada dalam pembuangan, tetapi memberikan hidup dalam diri orang-orang yang sudah mati (Yeh. 37:1-14). Bandingkan dengan perkataan Yesaya ini, “Ya, Tuhan, orang-Mu yang mati akan hidup pula, mayat-mayat mereka akan bangkit pula…” (Yes. 26:19-21; lihat juga 66:22-24; Dan. 12:1-2).
        Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa Perjanjian atau Konvenan Lama yang dibuat Tuhan dengan Israel tidak terbatas hanya pada hal-hal jasmani, tetapi mencakup janji hidup rohani yang kekal. Jadi kita melihat adanya keseragaman antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru mengenai hidup kekal.
 (John Calvin, Institutes of the Christian Religion, II. 10, disadur oleh syo).
Sumber:
Ready Bread – Reformed Evangelical Daily Bible Readings, Artikel Mingguan, Minggu ke-56, 57, 58 (Bacaan Alkitab Setiap Hari, Gereja Reformed Injili Indonesia)
All happiness is ruinous which does not flow from the fountain of God’s gratuitous love… a cursed happiness.  Semua kebahagiaan yang tidak bersumber dari kasih karunia Allah yang penuh anugerah hanya akan mendatangkan kehancuran… itu adalah kebahagiaan yang mendatangkan kutuk. John Calvin.
The disciples of Christ must learn the philosophy of placing their happiness beyond the world, and above the affections of the flesh. Murid-murid Kristus harus belajar untuk meletakkan kebahagiaan mereka bukannya pada hal-hal duniawi dan kesenangan jasmaniah [tetapi di dalam Allah]. John Calvin.
All the promises that were given to believers from the beginning of the world were founded upon Christ. Semua janji yang diberikan [Allah] kepada orang-orang percaya sejak permulaan dunia didasarkan di atas Kristus. John Calvin.

No comments:

Post a Comment